21. Sebuah Nama yang Menjadi Awal Mula

611 53 1
                                    

Setelah jentikan jari tadi, ruang absurd kembali berubah. Menjadi fatamorgana kenangan menyebalkan. Seakan ruangan itu bukanlah ada di dimensi realita, mereka tidak berada di manapun jua. Membuat pikiran manusia teraduk-aduk oleh asumsi-asumsi acak lain demi menarik kesimpulan dari satu pertanyaan lain tanpa jawaban. Apa sebenarnya tempat ini?

***

Hari itu, adalah hari Jumat. Hari yang biasanya menjadi favorit seluruh siswa maupun siswi. Cuaca pada hari itu juga cerah, namun matahari tak begitu terik memberi sengatan pada kulit.

Dersik lembut sesekali menyapa, memberi kesejukan dan menambah suasana teduh yang nyaman. Seharusnya ini menjadi hari yang indah bagi [name] yang kini bersekolah di sekolah umum.

—tapi ternyata tidak.

Anak-anak bergerombol mengelilingi sesuatu— atau mungkin seseorang. Mereka tertawa dengan begitu riang, terlihat begitu bahagia. Tendangan dilayangkan pada objek di tengah-tengah mereka. Membuatnya terjatuh telungkup.

—objek di tengah itu, adalah [fullname]. Saat itu usianya masih sekitar delapan tahun. Anak-anak yang memukulinya berusia sekitar sembilan tahun.

Memegangi perutnya yang sakit— mungkin ada memar yang tercipta di sana— ia menelungkupkan diri ke tanah berselimutkan rumput hijau subur. Kakinya sudah tak sanggup lagi menumpu beban batang tubuh. Instingnya selalu berkata untuk melindungi wajahnya setiap diperlakukan seperti ini.

Karena, ia tidak tahu apa yang mungkin saja dilakukan oleh orang-orang itu pada wajahnya suatu saat nanti. Mungkin saja— akan tiba saat di mana mereka mencongkel keluar kedua netra-nya atau mungkin mereka akan memecahkan-nya.

Punggungnya seakan remuk— terpecah menjadi beberapa bagian lalu buyar menjadi abu. Sedari tadi orang-orang itu terus menghujani punggungnya dengan injakan kasar. Kimono [favcolor] dengan motif bangau kertas itu ternoda oleh banyaknya debu tanah.

Sesekali injakan itu juga mendarat di kepalanya— membuatnya naas harus mencium tanah. Kalimat-kalimat tidak mengenakkan terlontar berulang-ulang. Lalu berputar dalam pikirannya bagai radio rusak. Begitu memuakkan.

"Kau hanya beruntung terlahir di keluarga terpandang!"

"Hei! Dasar tidak tahu diri!"

"Kau hanya beruntung selalu mendapat nilai sempurna tanpa celah!"

"Kerjakan pekerjaan rumahku! Jangan membantah!!"

"Kerjakan proyekku, jalang sialan!!" Aroma asap─begitulah [name] menyebutnya, itu tercipta akibat kepalanya terbentur berulangkali yang mengikat cabang bronkus— membuat sesak siapapun yang menghirupnya, terutama [name] yang sedari tadi tampak sekarat dengan helai [haircolor] berantakan— terlihat begitu menyedihkan.

—mereka membakar semua barang yang dibawa gadis itu untuk sekolah. Dari tas, buku catatan, hingga alat tulisnya.

Tengkuk belakangnya mulai terasa dingin. Itu basah— dibanjiri oleh keringat dingin. Kepalanya begitu sakit, napasnya mulai tersengal. Tubuhnya mungkin sudah tidak tahan dengan kekerasan yang dihujamkan bertubi-tubi.

Sejak awal, [name] tahu itu. Dunia ini membuat hidupnya terlihat bersinar di luaran— bagai cahaya mentari keemasan di padang bunga. Namun dunia juga menyuntikkan intisari gelap malam di bagian terdalam takdirnya.

Bagian terdalam itu 'lah yang tidak pernah diketahui siapapun. Sebab gadis itu memutuskan menguburnya sedalam mungkin— ia tak ingin ada yang mengetahui seberapa menyedihkan hidupnya.

Ia tidak punya tempat bersandar dan mengadu yang sesungguhnya. Jika anak lain berada di posisinya, mungkin dia akan mengadu pada ibunya. Sedangkan [name]? Melihat wajah ibunya secara langsung saja tidak pernah. Hanya dua lembar foto lusuh yang mulai pudar, yang menjadi bukti bahwa ia pernah memiliki ibu— setidaknya sampai usia dua tahun.

Nostalgia (Sanemi x Reader)Where stories live. Discover now