29. Hidup Itu

651 21 1
                                    

Siang itu cerah, langitnya biru dengan awan tebal melindungi dari terik cahaya matahari. Cuaca tidaklah panas, terasa cenderung hangat dengan semilir angin yang senantiasa menyejukkan. Dedaunan berjatuhan karenanya.

Hari yang cukup menenangkan—bagi sebagian orang, ditambah suara burung kecil, tentu saja begitu membubuh putih yang tenang di hati. Tapi, tidak bagi pemuda bermarga Shinazugawa itu.

Pilar angin dengan haori putih itu memanglah berjalan dengan nada yang terlihat tenang, berlawanan dengan raut wajahnya yang senantiasa garang. Seperti biasa, ia membawa sebungkus camilan—entah apa itu, ia memilihnya secara acak—untuk dibawa ke Rumah Kupu-kupu.

Dengan genangan iris ungu kelabunya yang senantiasa seolah menatap lurus ke depan, akan tetapi ialah jarak yang begitu jauh telah digapai-gapai oleh kereta benak. Seakan dalam hening-nya yang terlihat ditemani oleh keseriusan setia, gusar adalah iblis yang membayang sebab ia mencari akan sesuatu. Sebuah hal—atau mungkin keberadaan dari seseorang, mungkin-mungkin saja ia akan melakukan sesuatu seperti penagihan sebagai bayaran atas sesuatu bernama rindu kelu yang senantiasa membelot, merangkul erat dan begitu menyisa sendu.

Dehaman pelan lolos dengan ringan dari lisan pemuda Shinazugawa itu dikala bongkah amethyst nya menangkap sosok laki-laki yang lebih muda darinya, dengan tanda kobaran matahari di dahi. Sapaan mengalun dibubuhi hangat dalam nada itu dibalas dengan setara.

Mungkin Sanemi akan berbasa-basi barang sepatah dua patah kalimat—mengingat hal tidak mengenakkan pernah ia lakukan pada anak muda ini—Tanjiro Kamado. Lebih tepatnya pada adik kecilnya—Nezuko Kamado, sekelebatan memori menghampir, mengisi sejenak akan bagaimana ia memancing Nezuko dalam wujud iblis untuk menyerangnya dan meminum darah manusia.

Canggung ialah apa yang mengisi di antara celah-celah keheningan yang tercipta dalam mereka, dan itu terlukiskan jelas dari bagaimana guratan senyum diulas dalam air muka. Akan tetapi, semua itu seketika sirna setelah beberapa pembicaraan kecil—diinisiasi oleh Tanjiro demi mengganti canggung yang membelenggu.

Kini, hangat merah muda lembut adalah apa yang mengisi. Begitu penuh dan membanjiri, hingga membuat hati Sanemi tercelup warna indah dari storge. Ia tidak begitu menyangka—lebih tepatnya sesuatu bernama harapan sudah lama pergi beranjak dari hati tandusnya sebagaimana pada kala itu, adiknya tewas saat melawan iblis bulan atas pertama. Cinta keluarga adalah apa yang benar-benar pupus—setidaknya dalam lingkup persepsi pemuda berhelai putih itu.

Tangannya yang masihlah berbalut perban memang belum apik mencapai kesembuhan, tapi biar bagaimanapun jua seolah rasa keinginan menjelma menjadi benang dan Shinazugawa Sanemi ialah bonekanya untuk sementara waktu. Pada saat ini saja, ia mengelus pipi penuh dan lembut gadis bermanik merah jambu, dengan sendu yang menyorot dari violet keruh.

Senyumnya mengulas dengan kehangatan sewarna biru perpaduan rindu dan sendu sebab dikala bincang ringan Nezuko berkata bahwa ia "suka tidur". Pemuda dengan banyak bekas luka—yang pastinya itu bertambah karena perang besar melawan iblis, tidak bisa kalau-kalau sampai tetap berekspresi masam nan garang seperti biasanya.

Ah, ya .. perasaan ini .. nostalgia namanya, eh? Ini hampir-hampir terasa seperti orang itu. Sebungkusan camilan yang ia bawa diberikan dengan ketulusan bermekaran untuk Kamado bersaudara—diterima dengan kecanggungan manis khas Si Sulung Kamado, tentunya.

Sendu dan rasa manis semakin mengisi tatkala seonggok pohon sakura dapat ditangkap sepanjang jangkauan netra ungu keruh menelusur ke arah luar Kediaman Kupu-kupu.

"Seperti di kala itu 'eh?" Kali ini, benaknya seperti memerintah agar ia lagi-lagi berjalan ke sana, entah demi tujuan apa. Paling-paling sekedar bersantai belaka, menikmati hilir angin sepoi-sepoi atau mungkin sesekali berbincang ringan dengan pasien rawat Kediaman Kupu-kupu lainnya.

Nostalgia (Sanemi x Reader)Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum