9. Don't Go

1.6K 187 5
                                    

Malam itu [full name] tidak bisa tidur. Jantungnya berdegup tidak karuan dengan rasa senang yang membara—menyengat setiap sel saraf di tubuhnya.

Karena, esok hari adalah hari di mana ia dan pemuda bersurai salju itu akan 'waktu minum teh bersama'. Mereka sudah berjanji untuk minum teh sejak seminggu lalu.

Wajah merah manis dari Sanemi dapat terbayang dalam benak gadis itu. Terbawa hingga mimpi indah menariknya dalam.

Tapi, mimpi itu sirna begitu ia terbangun karena intrupsi berupa guncangan keras di tubuhnya yang berasal dari seorang gadis bermanik hijau pucat—Eren. Gadis bersurai hitam itu berusaha membangunkan [name] dengan ekspresi wajah stoic—yang tidak biasanya ia keluarkan.

Gadis itu mengerang sambil meregangkan tubuhnya yang masih agak lemas. "...huh? Eren... ada apa? Kenapa semuanya terang sekali..? Sudah pagi 'kah?" Manik [eye color] itu memincing karena pasokan cahaya berlebih yang diterima retina-nya. Selimut basah melingkupinya—memberikan perlindungan dari udara panas nan menyesakkan.

"Ada kebakaran. Tinggalkan saja semua. Ayo kita keluar," Eren berucap tanpa di iringi kekehan tidak jelas-nya. Suara riuh terdengar dari luar—yang [name] asumsikan sebagai warga yang memadamkan api.

[Name] berusaha keluar dengan tuntunan dari Eren. Gadis pucat itu melangkah dengan gesit—sesekali menarik [name] agar terhindar dari bahaya puing yang berjatuhan. Rumah [name] tergolong besar dengan banyak dinding dan lorong.

"A-ayah. Di mana ayah, Eren?" Gadis bermanik hijau pucat itu tak menjawab.

Gadis bermanik [eye color] itu sesekali terbatuk. Mata-nya tak dapat melihat dengan jelas dikarenakan asap yang membuat pedih juga warna yang didominasi oleh merah terang menyala. Mayat-mayat pelayan tergeletak di jalan mereka.

Mereka terhenti di hadapan tangga jati yang menghangus. Api dari puing-puing fondasi rumah yang runtuh menghalangi mereka. "B-bagaimana ini?" [Name] bertanya dengan nada panik.

Mengorbankan kulit kaki dan tangan, Eren melangkah dengan mantap dan melindungi [name] dari puing-puing yang berjatuhan. Sesekali pemilik bongkah hijau asam itu menendang puing yang menghalangi. Gadis bersurai [hair color] itu membuang selimut yang memanas.

Di bawah, seorang gadis pucat berambut se-merah api terlihat menginjakkan salah satu kakinya pada puing. Ayah [name] ada di bawah puing itu. Manik sewarna api gadis itu menatap tajam pada Eren dan [name].

"Oh, Tsukiyami. Menyerah saja. Jika kau menyerah, Tuan akan membawamu dengan baik-baik," gadis api itu menyeringai licik.

"Lagipula gurumu sudah mati," lanjutnya. Bongkah [eye color] itu membulat. "A-ayah!!"

Eren menarik [name] menjauh—kearah pintu keluar. "S-siapa itu Tsukiyami, Eren?" Gadis bermanik [eye color] itu menuntut jawaban.

"Untuk sekarang dia tidaklah penting—ugh!!" Gadis api itu menerjang—menghantam dada Eren. "Keluarlah, [name]! Jangan pedulikan aku!"

"T-tapi—"

"Tidak apa-apa," Eren menarik bagian belakang kerah kimono putih gadis itu lalu menghempasnya. Gadis bersurai merah itu menghantam dinding menyebabkan keretakan.

[Name] terus berlari di antara api yang berkobar tanpa tahu arah. Yang pasti, ia harus terus melangkah. Rasa takut semakin membanjiri dirinya. Dalam hatinya, tersebut satu nama.-Nemi... kumohon tolong aku, Nemi..!

"Kau tersesat, Ojou-san?" Suara serak menakutkan membuat [name] terkesiap. Kepalanya mulai pusing akibat terlalu banyak menghirup asap. Di hadapannya, seorang pria pucat dengan mata merah tersenyum licik.

Nostalgia (Sanemi x Reader)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt