Selepas acara bakar-bakar bersama anak-anak REMAS tadi, gue, Arga, dan Lucas langsung memutuskan untuk pulang. Dan saat ini gue sudah merebahkan diri di kasur, bersiap untuk tidur setelah selesai bersih-bersih. Seperti biasanya, Lucas akan menginap di rumah Arga.
Nggak banyak yang datang ke acara bakar-bakar tadi, terutama dari rombongan REMAS yang sudah dewasa seperti Kak Dimas, Mbak Fatim, Mbak Anggi, dan kawan-kawan. Sedangkan yang perempuan pun hanya tiga orang saja yang datang, gue, Nayla dan Riris.
Seperti sudah jadi menjadi kebiasaan, REMAS mulai dari generasi Mama gue sampai saat ini katanya anggota perempuannya memang selalu sedikit. Kebalikan dari fakta biasanya yang mengatakan bahwa populasi laki-laki lebih sedikit dibandingkan perempuan. Apalagi setelah menikah nanti, perempuannya akan ikut bersama suaminya.
Gue meletakan ponsel di meja samping kasur. Badan dan pikiran gue capek dan menuntut untuk segera beristirahat alih-alih bergadang seperti biasanya. Tapi sayangnya ada satu hal yang masih mengganjal di pikiran gue, yang membuat gue jadi terus kepikiran dan terhambat untuk segera beristirahat. Yaitu mengenai jawaban Lucas kenapa dia nggak mau pacaran lagi itu terus berputar di otak gue. Sejujurnya ini bukan hal yang mengagetkan mengingat Lucas itu orangnya cukup taat meskipun dia seorang mualaf. Tapi mau bagaimanapun juga gue tetap syok. Lucas ternyata sedewasa itu tanpa sepengetahuan gue.
"Bukan apa-apa, hidup gue sebenernya udah rumit tanpa harus gue tambah dengan masalah dan hal-hal sepele kayak pacaran, Al."
"Lo tau sendiri gimana nggak sukanya orang tua gue dengan keputusan gue masuk Islam, apalagi gue malah deket sama lo dan pacaran sama perempuan yang sekarang seiman sama gue. Bukannya membaik, orang tua gue malah makin benci sama gue yang sekarang."
"Gue nggak nyalahin lo ataupun mantan gue si S word itu. Gue malah bersyukur karena ketemu sama lo membuat gue jadi mengenal Islam, karena berkat Kakung gue jadi bisa menjemput hidayah. Gue bersyukur banget bisa ketemu sama lo, Papa, dan almarhum Mama malam itu. Gue bersyukur banget. Karena semenjak hari itu, segala hal-hal baik dalam hidup gue dimulai.
"Mungkin klasik kalau gue bilang gue nggak mau pacaran karena takut dosa, karena tahu itu dilarang dalam agama, haram. Tapi, ya emang itu alasan utama gue berhenti pacaran, Al."
"Sebenernya bukan cuma pacaran aja yang mau gue udahin, tapi segala jenis interaksi dengan lawan jenis yang nggak ada alasan syar'i-nya sama sekali. Gue mau udahan, gue mau memperbaiki diri, Al." jelas Lucas panjang Lebar.
Kemarin saat Lucas memberikan penjelasan, gue nggak bisa berkata-kata karena saking bingungnya. Sejauh gue mengenal dia, gue nggak pernah mendengar Lucas berbicara seserius itu.
Gue tahu, hidup Lucas sebelum dia masuk Islam pun memang sudah rumit dan berat. Orang tuanya terancam cerai dan dia malah mencari pelarian kepada minuman keras dan rokok. Setelah masalah perceraian itu urung terjadi dan selesai dengan cara yang baik, muncul masalah baru yaitu Lucas masuk Islam. Masuknya Lucas di agama Islam adalah masalah menurut kedua orang tuanya. Anak yang mereka rawat dari kecil, mereka ajari tentang Tuhan dan kepercayaan, setelah dewasa malah mencari Tuhannya sendiri seolah-olah pilihan orang tuanya itu salah.
Gue paham, Lucas mau mengurangi setidaknya satu beban di pundaknya dengan nggak berpacaran supaya nggak memicu timbulnya masalah. Gue tahu selama ini meskipun pelan tapi Lucas terus memupuk usahanya untuk mengenalkan orang tua dan keluarganya dengan agama Islam. Tapi gue nggak paham dengan kalimat terakhir Lucas, yang katanya mau menyudahi segala jenis interaksi dengan lawan jenis yang nggak ada alasan syar'i-nya itu. Secara nggak langsung dia mengatakan bahwa itu adalah hubungan persahabatan gue sama dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ada Sesuatu di Jogja (Renjun Lokal)
Teen Fiction[SUDAH TERBIT] "Katanya tipe suami idaman kamu itu yang kayak Renjun. Nah, itu Renjun." "Tipe gue Huang Renjun, ya! Bukan Muhammad Renjun Alfansa!" ©ozainstory, 2020.