6. Kak Dimas

3.7K 770 24
                                    

Ekstrakulikuler tilawah akhirnya dimulai lima belas menit kemudian, setelah Arga kembali entah dari mana bersama satu orang lagi. Di sini hanya ada sepuluh orang termasuk gue. Dari paling ujung kiri duduklah Chandra, kemudian sebelahnya ada Arjuna dan Jeje, di tengah ada Arga, lalu di sampingnya lagi ada Renjun. Sedangkan di shaf perempuan, tepat di sebelah kanan gue ada Annisa, lalu di sebelahnya lagi ada Latifah dan Nayla—teman sekelasnya Chandra yang baru saja gue kenal tadi. Lalu yang duduk di antara kedua shaf ini ada guru ngaji yang kata Arga akan membuat gue senang tadi.

Iya. Arga benar. Gue senang pakai banget! Guru ekstrakulikuler tilawah ini adalah Kak Dimas. Tetangga di rumah sekaligus salah satu murid ngajinya Kakung sejak kecil, yang dulunya sebelum kuliah sering main ke rumah untuk sekedar mengobrol dengan Kakung. Kak Dimas saat ini baru memasuki usia 22 tahun, dia adalah anak kuliahan. Meskipun gue bisa bertemu Kak Dimas hanya ketika liburan saja, tapi gue kenal baik dengan Kak Dimas. 

Kak Dimas ini selain baik, dia juga pintar, tampan dan sholeh. Dia itu boyfriend material banget, jadi nggak heran kalau banyak ibu-ibu di kompleks desa yang suka bercanda untuk menjodoh-jodohkan anak gadisnya dengan Kak Dimas. Tapi sayang, Kak Dimas nggak main pacar-pacaran, dia maunya ta'arufan terus langsung menikah. Jadi, mari kita sebut Kak Dimas dengan husband material saja.

"Oh, jadi Risa sekarang tinggal di sini sama Kakung?" tanya Kak Dimas sambil basa-basi untuk membuka kegiatan ekstrakulikuler siang ini.

"Iya Kak, hehe," jawab gue canggung.

"Wah asyik nih, kalian berdua yang akur, ya!" Kak Dimas berucap sambil melihat ke arah gue kemudian beralih ke Arga. Sedangkan gue dan Arga hanya bisa saling tatap lalu menjawab dengan anggukan dan senyum terpaksa.

"Nggak bakal, Kak. Arga orangnya nggak bisa diajak akur" batin gue.

Seakan mengerti dengan apa yang gue batin, Arga langsung melotot ke arah gue seolah-olah memberikan sinyal perang. Benar-benar ya bocah satu inim kalau saja lagi nggak ada Kak Dimas sudah gue gampar dia.

Dua menit kemudian, Kak Dimas memulai kegiatan ekstrakulikuler ini dengan diawali tilawah bersama. Akhirnya gue bisa mendengar suara merdu Kak Dimas mengaji lagi setelah sekian lama. Karena gue sudah lama nggak mengaji, gue langsung merasa seperti menjadi orang paling bodoh sedunia. Lidah gue bahkan kaku untuk sekedar membaca ta'awudz saja.

Paham dengan keadaan gue, Kak Dimas bmenghentikan aktivitasnya lalu melihat ke arah gue sambil berucap, "Risa kalau belum bisa, nyimak dulu aja nggak pa-pa," ucap Kak Dimas sangat lembut. Bukannya malu karena ketahuan nggak bisa ngaji, gue malah meleleh dengan perlakuan Kak Dimas. Oh God, bekukan gue lagi!

Akhirnya yang bisa gue lakukan selama kegiatan ekstrakulikuler berlangsung adalah menyimak teman-teman gue yang sedang mengaji. Kemampuan mereka sangat jauh di atas gue. Jujur, gue sangat malu.

---

"Risa tinggal di rumahnya Mas Arga?" tanya Chandra waktu bertemu di gerbang. Gue yang sejak tadi berdiri di samping gerbang sembari menunggu Arga mengambil motornya di parkiran langsung dikagetkan dengan suara motornya yang tiba-tiba saja berhenti di sebelah gue.

"Enggak, Chan. Gue tinggal di rumah Ustadz Ali. Tahu kan?"

Chandra mengangguk, "Tahu, Kakung kamu kan?"

Gue cuma mengangguk sebagai balasan. Siapa sih warga kompleks rumah yang nggak kenal Kakung? Salah satu pemuka agama yang paling disegani di sini, atau Ustadz Ali namanya, yang jauh lebih familiar ditelinga orang-orang. Apalagi hanya di sekolah ini, Kakung bahkan berkali-kali menjadi pengisi kajian perayaan hari besar. Sedikit banyak penghuni sekolah ini juga sudah cukup hafal dengan wajah teduh Kakung. Meskipun gue baru sehari bersekolah di sini, gue bahkan sudah dikenal sebagai sepupunya Arga sekaligus cucunya Ustadz Ali. Tapi mungkin keliatan nggak begitu sinkron aja kali, ya? Cucu Ustadz tapi nggak kelihatan seperti cucu Ustadz. Berbeda dengan Arga yang taat aturan, gue justru sebaliknya. Seragam lengan pendek, rok pendek, sepatu berwarna, kaos kaki hitam, dan jangan lupakan rambut ombre gue. Iya, dari awal kan sudah pernah gue katakan kalau rambut gue, gue warnain. Warna hitam abu-abu.

Ada Sesuatu di Jogja (Renjun Lokal)Where stories live. Discover now