"Lucas."
"Chandra."
Kedua pria yang baru pertama kali bertemu itu bersalaman dan berkenalan satu sama lain setelah gue memesan dua gelas vanilla latte untuk gue dan Chandra. Sebab Lucas sudah memesan minumannya sendiri sejak tiba di sini setengah jam yang lalu.
"Temen sekolahnya Al?" tanya Lucas kepada Chandra. Sedangkan yang ditanya hanya tersenyum dan mengangguk.
"Gue kira pacar barunya Al." Lucas terkekeh, "Ganteng nih Chandra, nggak mau dijadiin pacar aja, Al?" lanjutnya sambil menatap jahil ke arah gue.
"Dih?" Gue melirik sinis ke arah Lucas sedangkan Chandra malah tertawa, "Nggak, Mas. Temenan aja sama Risa, galak anaknya." ucap Chandra.
"Haha bener banget. Lo baru kenal dia beberapa hari aja udah ngerasain galaknya, Chan. Apalagi gue." balas Lucas terkekeh.
Gue mendengus sebal. "Lo berdua nyebelin banget, ya." Lucas dan Chandra hanya tertawa sebagai jawaban. Meskipun perpaduan mereka berdua ini cukup menyebalkan untuk gue, tapi gue senang bisa mengenalkan Lucas ke Chandra.
"Tumben sekolahnya pakai kerudung?" tanya Lucas.
"Peraturan wajib dari sekolah." balas gue bersungut-sungut.
Lucas tersenyum, "Nggak pa-pa. Lo cantik kok pakai kerudung gini, Al. Cantik banget pakai pakaian tertutup kayak gini. Nggak salah Papa nyuruh lo buat pindah ke Jogja."
"Ish! Tapi gue lebih suka di Jakarta. Lebih enak di sana. Ada lo, ada Adel, ada Papa. Gue nggak suka di sini." ujar gue mendengus.
"Loh, kenapa? Di sini suasananya asik, gue lihat juga kayaknya temen-temennya baik." ucap Lucas.
"Nggak, di sini nggak asik. Orang-orangnya nggak asik."
Chandra langsung berdehem sesaat setelah gue mengucapkan kalimat itu. Nggak peduli. Gue nggak peduli dengan keberadaan Chandra di sini, karena gue sama sekali nggak memaksa dia untuk menunggu gue atau bahkan sampai mendengarkan percakapan gue dengan Lucas di sini.
"Emang bener, kan? Nggak as-ik!" ucap gue dengan menekankan satu kata di akhir kalimat itu.
"Nggak juga, Chandra orangnya asik kok." balas Lucas.
Gue melengos, "Katanya lo nggak suka kalau gue pindah ke Jogja, kenapa sekarang malah kayak jadi dukung gue stay di sini, sih?" tukas gue.
"Ya.. iya, sih. Tapi kalau di sini lo jadi bisa belajar jadi lebih baik lagi kenapa nggak gue dukung?" Lucas menyeruput kopinya lagi setelah menyelesaikan kalimatnya.
"Tadi pagi sebelum ke sini, gue ketemu sama Papa." Mata gue langsung membulat mendengar penuturan Lucas. "Papa bilang supaya gue dukung lo buat tetap tinggal di sini, Al. Papa bilang supaya jangan sampai bikin lo jadi kepikiran mau pulang setelah lihat gue ke sini. Awalnya gue nggak mau sih, gue nggak mau jadi pisah sama lo. Tapi setelah gue pikir-pikir dan setelah gue lihat lo di depan gerbang sekolah tadi, gue jadi berubah pikiran. Gue ngerti kenapa Papa minta lo buat tinggal di sini, Al. Jadi, tetep tinggal di sini dulu, ya?"
Bahu gue seketika merosot saat mendengarkan kalimat Lucas.
"Nggak apa-apa, kan demi kebaikan lo. Mungkin untuk sekarang lo belum begitu betah karena belum bisa beradaptasi sama lingkungannya. Tapi lama-lama pasti bisa, kan?" Lagi dan lagi gue hanya tertunduk dan merengut. Gue nggak suka dengan semua ini.
"Nah, Chandra bantu Alifa supaya nyaman tinggal di sini. Jadi temen yang baik buat Alifa ya, Chan?" lanjut Lucas. Chandra mengangguk canggung. Gue rasa dia menyesal sudah memutuskan untuk ikut gue masuk ke kafe dan berakhir terseret dalam perbincangan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ada Sesuatu di Jogja (Renjun Lokal)
Teen Fiction[SUDAH TERBIT] "Katanya tipe suami idaman kamu itu yang kayak Renjun. Nah, itu Renjun." "Tipe gue Huang Renjun, ya! Bukan Muhammad Renjun Alfansa!" ©ozainstory, 2020.