24

164 14 0
                                    

Jam menunjukkan pukul enam pagi. Rani mencoba menghubungi Irfan beberapa kali namun tidak ada jawaban. Dari kemarin malam Irfan tidak bisa dihubungi. Rani mulai merasa tidak nyaman, ia khawatir dengan keadaan Irfan.

"Lho? Kamu kok masih disini sih? Ada teman kamu jemput di bawah. Udah cepetan nanti sekolahnya telat," ucap mama Rani.

Rani berharap semoga itu adalah Irfan. "Kalau gitu, Rani pamit dulu ya. Dadah mama," ucap Rani lalu pergi.

"Hati-hati di jalan."

Rani membuka pagar rumahnya. Ternyata realita tak seindah ekspetasinya. Ia sangat berharap jika ini Irfan, tetapi kenyataannya adalah ini Bian. Bian menatap Rani dengan tersenyum manis.

"Selamat pagi tuan puteri," ucap Bian ramah.

"Ngapain sih lo kesini? Nggak puas bikin hubungan gue sama Irfan renggang? Pergi sana!" usir Rani dengan nada tinggi.

"Maaf, gue nggak bermaksud."

"Halah bohong! Lo emang benci sama Irfan, kan? Benci sih boleh aja, tapi jangan kayak gini!"

Bian terdiam. Ia tidak mampu membalas ucapan gadis ini. Bian sama sekali tidak bermaksud untuk merusak hubungan Rani dan Irfan. Ia hanya ingin menikmati waktu bersama Rani, apakah itu salah?

Rani memasuki rumah dan masuk ke dalam mobil mewahnya. Bian hanya tertunduk lalu melajukan motornya menuju sekolah.

"Lo kemana sih, Fan? Gue kangen banget sama perhatian lo," ucap Rani dalam hati.

Bian sudah sampai di sekolah. Ia menunggu Rani di depan kelasnya. Bian ingin meminta maaf atas ulahnya kemarin. Ia juga pasrah jika nantinya Rani tidak bisa memaafkan kesalahannya.

"Gue minta maaf," ucap Bian.

Rani menatap Bian sekilas lalu membuang pandangannya. "Gue nggak butuh kata maaf lo."

"Ayolah, maafin gue, ya? Gue nggak bermaksud bikin hubungan kalian renggang kok. Suer deh," bujuk Bian dengan menatap Rani memohon.

"Gue nggak percaya, Bian. Gue juga nggak mau ketemu sama lo lagi!"

Bian pasrah lalu meninggalkan kelas Rani.

Rani menelungkupkan tubuhnya diatas meja. Air matanya mengalir dengan derasnya. Benteng pertahanan Rani runtuh, akhirnya ia menangis. Sejak kemarin Rani berusaha untuk tidak menangis, namun akhirnya ia gagal juga.

"Ya ampun, lo kenapa? Jangan nangis dong," ucap Fina dengan khawatir.

"Gue nggak apa-apa," jawab Rani.

Emil duduk di depan Rani diikuti oleh Insha. "Jangan bohong, Rani. Kita tau ada sesuatu yang lo sembunyiin dari kita. Cerita aja," ucap Emil.

"Iya tuh bener," sahut Insha.

Rani mengangguk dan mulai menceritakan semuanya kepada para sahabatnya. Ia merasa sedikit lega ketika ada yang mau mendengar keluh kesahnya.

"Saran gue sih lo coba ke rumah Irfan aja gimana? Atau nggak lo curhat sama neneknya Irfan," usul Fina.

"Nah, iya tuh. Kalau lo curhat sama neneknya Irfan, mungkin dia bakal bujuk Irfan untuk ketemu sama lo," timpal Emil.

"Gimana?" tanya Insha.

"Oke, besok gue akan coba ke rumah neneknya Irfan. Mungkin besok gue bakal izin sekolah," jawab Rani.

Rani membulatkan tekad untuk besok pergi ke rumah nenek Irfan. Ia tidak bisa terus dicueki Irfan seperti ini. Semoga saja Irfan ada di rumah neneknya.

*****

Rani tengah bersiap untuk pergi. Ia akan pergi bersama supir pribadinya. Rani sudah izin kepada orang tuanya untuk tidak sekolah dan mereka mengizinkan selama Rani bahagia dengan pilihannya ini.

Selama perjalanan perasaan Rani tidak karuan, ia sangat berharap ada Irfan disana. Setelah dua puluh menit perjalanan, Rani sudah sampai di depan rumah nenek Irfan. Dan benar, ada mobil Irfan disana.

"Permisi," ucap Rani.

"Iya, sebentar," jawab seseorang dari dalam rumah.

Nenek membuka pintu lalu menatap Rani. Senyum di bibir nenek terlukis indah. Kemudian memeluk Rani erat.

"Ada apa kamu kesini? Tumben sekali," ucap nenek dengan mempersilahkan Rani masuk ke dalam rumah.

Rani tersenyum kecil. "Emm, aku mau cari Irfan. Apa dia ada disini, nek?"

"Irfan? Ada dia di dalam," jawab nenek. "Masuk aja kalau kamu mau cari dia, di sebelah sana kamarnya," sambung nenek sembari menunjuk sebuah kamar.

Rani mengangguk lalu melangkah mendekat ke arah kamar itu. Ia sudah mengetuk pintu beberapa kali namun tidak ada jawaban. Rani mulai takut jika Irfan tidak ingin menemui dirinya lagi.

"Ngapain lo kesini?" Suara laki-laki yang sangat familiar di telinga Rani.

Rani menoleh. "Irfan? Gue mau minta maaf sama lo. Semua kejadian yang lo lihat kemarin nggak seperti apa yang sebenarnya. Percaya sama gue."

Irfan diam. Ia tidak tahu harus percaya yang mana.

"Oke, gue tahu lo sulit untuk percaya sama gue. Tapi gue nggak bohong Irfan. Gue cuma cinta sama lo. Gue juga nggak ada hubungan apa-apa sama Bian. Tolong percaya sama gue," sambung Rani.

Rani menahan tangisnya namun gagal. Air mata itu berhasil turun dan membasahi pipinya. Rani menangis di hadapan Irfan. Irfan terdiam cukup lama, ia tidak merespons semua ucapan Rani.

"Yaudah kalau lo nggak percaya. Gue pamit," ucap Rani.

Irfan memeluk tubuh Rani dari belakang, mendekapnya kuat. Rani tersenyum sambil terus menangis. Ia bahagia karena Irfan mau memeluknya lagi.

"Jangan pergi, gue butuh lo disamping gue. Maafin gue karena udah bikin air mata lo jatuh. Maaf," ucap Irfan.

"Lo mau maafin gue?"

"Ya, gue maafin lo."

"Makasih ya," ucap Rani.

Irfan memegang tangan Rani dan mengajaknya ke pekarangan rumah neneknya yang sangat sejuk ini.

Mereka menikmati suasana dengan belajar memasak dengan nenek. Rani bahagia karena bisa belajar memasak ala orang dahulu. Begitu juga Irfan, ia sangat bahagia melihat gadisnya itu.

"Udah jadi nih. Yuk kita bawa ke meja makan, biar Irfan bisa mencicipi," ucap nenek lalu dibalas anggukan kepala oleh Rani.

Mereka berkumpul di meja makan yang berukuran cukup besar ini. Rani mengambil nasi dan mengambil masakan yang tadi dimasaknya bersama nenek.

Irfan mulai menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Entah mengapa Rani deg-degan karena takut makanan itu tidak enak. Tak lama kemudian, Irfan tersenyum manis ke arah Rani.

"Ini enak banget," ucap Irfan.

Rani tersipu malu.

"Iya dong, calon cucu nenek emang harus bisa masak. Jangan kapok-kapok belajar masak sama nenek, ya?" ucap nenek menatap ke arah Rani.

Rani tertawa. "Iya, nek. Kalau ada waktu, Rani selalu main kesini kok."

Sementara itu, Bian hanya diam diambang pintu. Ia melihat mereka sangat bahagia tanpa dirinya. Mungkin semesta tidak adil kepada Bian. Tapi tak apa, selama Rani dan neneknya bahagia, Bian juga merasakan bahagia.




Chapter 24 sudah selesai. Bagaimana dengan chapter ini? Btw, makasih 200 pembacanya yaa 😉

Jangan lupa tinggalkan jejak yaa. Bantu Bian, Rani, dan Irfan sampai ke 300 pembaca ya. Thank you^^

--Selamat membaca ❤--

BIANTARA [Completed] ✔Where stories live. Discover now