51: Menetap

129 10 0
                                    

Bian sedang duduk di kursi panjang balkon kamarnya. Ucapan papanya selalu terngiang-ngiang hingga saat ini. Bian tidak ingin hidup terlalu diatur oleh siapapun. Ia lebih suka jika menentukan pilihannya sendiri.

Eni masuk ke dalam kamar Bian dan melihat anaknya yang sedang melamun sendirian.

"Kamu kenapa? Kok ngelamun gitu?" tanya Eni lalu duduk di sebelah Bian.

"Bian mikirin ucapan papa tadi."

"Memangnya kamu mau masuk ke universitas mana? Atau kamu mau kuliah di luar negeri?"

Bian menggeleng. "Bian nggak tau mau kuliah jurusan apa dan di universitas mana. Bian masih pengin mikir lagi dan nentuin jurusannya sendiri."

Eni memeluk anaknya itu. "Yaudah nanti mama coba ngomong sama papa."

***

Hari ini orang tua Bian sedang berada di rumah untuk beberapa bulan kedepan. Itu artinya, Bian akan diatur-atur oleh papanya hingga hari kelulusan nanti. Mereka berada di satu meja makan. Bian sama sekali tidak membuka obrolan dan ia tidak menatap wajah Edy.

"Jadi gimana? Kamu mau kuliah dimana?" tanya Edy.

Wajah Bian terangkat. "Nggak tau."

"Kok nggak tau? Kamu sudah kelas dua belas Bian! Jadi, jangan main-manin sama masa depan kamu," ucap Edy.

Bian berdecak kesal. "Kalau misalnya aku mau jadi atlet basket gimana? Papa ngizinin, nggak?"

"Apa? Atlet? Mau jadi apa hari tua kamu nanti? Papa nggak akan setuju!"

"Tuh, kan. Bian nggak suka diatur-atur kayak gini. Ini tuh masa depan Bian dan yang berhak mengatur itu Bian sendiri!" ucap Bian penuh amarah lalu berjalan pergi.

***

Bian sudah berada di depan rumah Rani. Ia mengirimkan pesan agar Rani bersiap-siap lebih cepat. Tak lama berselang, Rani keluar dari rumahnya dan mendekat ke arah Bian.

"Lo gue antar ke sekolah ya, terus gue mau pergi," ucap Bian.

"Hah? Maksudnya? Pergi kemana?" tanya Rani dengan menatap wajah Bian.

"Gue mau bolos," jawab Bian.

"Jangan aneh-aneh, Bi. Lo udah kelas dua belas, jangan banyak bolos kayak gini."

Bian tidak menjawab. Ia langsung melajukan sepeda motornya dengan kecepatan yang lumayan tinggi.

"Lo beneran mau bolos?" tanya Rani lagi.

"Iya, gue nggak mood sekolah."

Rani menatap Bian lewat kaca spion. "Kalau gitu, gue ikut ya?"

"Hah ngapain? Lo sekolah aja."

"Gue tau lo lagi banyak pikiran. Gue nggak mau terjadi apa-apa sama lo. Lagipula mama nggak akan marah kok kalau gue jelasin alasannya. Bolehin gue ikut, ya?"

Bian mengangguk pasrah.

Sepeda motor Bian berjalan menuju sebuah rumah yang pernah Rani kunjungi yaitu rumah nenek Bian. Setiap kali Bian banyak pikiran, neneknya adalah orang yang mampu menenangkan pikirannya.

BIANTARA [Completed] ✔Where stories live. Discover now