27

220 24 8
                                    

Roda brangkar terdengar nyaring di sepanjang lorong rumah sakit. Dua buah brangkar yang mengangkut dua orang yang tengah di ambang kritis kesadaran.

Darah yang masih bersimbah disetiap inci tubuh kedua gadis itu tak luput dari penglihatan banyak orang. Berbagai ekspresi yang ditemukan dari khalayak yang ada dirumah sakit setelah melihat kondisi tragis dari kedua korban tersebut.

Vero, yang menjadi saksi bagaimana luka-luka parah kedua gadis itu hanya bisa menangis sambil menuntun brangkar milik salah satu gadis. Tak lain adalah Vinia. Sedangkan brangkar Wanti di kelilingi oleh beberapa teman balapannya.

Hingga sampai diruang IGD jalan Vero seketika dihadang para suster.

"Maaf pak, tidak diperbolehkan masuk selagi pemeriksaan. Mohon ditunggu"

Dan pintu IGD pun tertutup begitu setelah brangkar Wanti masuk.

Meninggalkan Vero dengan berbagai penyesalan dan kebodohan.

Vero menunduk lalu menangis, merutuki betapa bodohnya ia hari ini. Hari yang ia nantikan sebagai hari pertemuan dengan Vinia. Ternyata berujung ke naas an.

Harusnya Vero mengeluarkan segala cara untuk menghentikan Vinia mengikuti ke dalam mobil balap Wanti.

Atau lebih baiknya mereka tak pergi ke ajang balap liar tersebut.

Tapi Vero memang bodoh. Ia menuruti perkataan Vinia begitu saja untuk menonton balap, membiarkan Vinia begitu saja saat gadis itu memasuki mobil Wanti.

Vero memang bodoh, dirinya memang bodoh. Begitu pikirnya.

Lelaki itu mengeluarkan handphone nya dan menghubungi nomor ayahnya.

Deringan ketiga, panggilan pun terjawab.

"Gimana? Bisa kamu bawa Vinia pulang? Kalo memang kamu bisa bahkan Vinia bisa jadi—"

"Ayah"

Panggilan itu terdengar lirih.

"Kenapa? Segitu nya kamu sampai nangis—"

"Yah, Vinia....ga bisa Vero bawa pulang sekarang"

Vero mati-matian menahan tangis nya.

"Maksud kamu? Udah ayah duga kami ga becus bahkan membuat milik kamu sendiri kembali"

"Iya, Vero tau Vero ga becus. Ayah tolong kerumah sakit sekarang. Vinia... kecelakaan"

Vero memelankan suaranya di kata terakhir, yang mana membuat sang lawan bicara sepertinya murka.

"Rumah sakit mana? Sialan kamu Vero, sudah ga becus bahkan kamu ga bisa jaga seseorang dengan baik. Udah ayah bilang sedari dulu kamu ga pernah becus dalam hal—"

"GAADA WAKTU BUAT OMELAN AYAH, VINIA SEKARANG LAGI GA BAIK-BAIK AJA. MAKIAN AYAH GA BISA BIKIN VINIA BAIK-BAIK AJA! KALO MERASA AYAH BECUS SEKARANG JUGA AYAH KE RUMAH SAKIT. VINIA GA BUTUH RIBUAN KATA YANG AYAH KELUARKAN UNTUK MENGUMPATI VERO"

Emosi Vero meledak sejadi-jadinya, dan setelah itu kembali menangis setelah memutuskan sambungan telepon.

Tubuh Vero meluruh ke bawah; berlutut dengan tangan yang menjambak surai tebal nya. Hingga suara tangisnya menggema di sepanjang lorong depan IGD.

Memang benar bahwa dirinya lebih dari seorang tak berguna. Tak pernah betul dalam melakukan apapun.

Bahkan, bundanya pergi karena dirinya.

"Dasar gak guna" lirih nya.

Tangan nya perlahan bergerak memukul-mukul kepala nya sendiri.

BUGH!

Everything has changedWhere stories live. Discover now