24. Sorry

4.6K 813 613
                                    

24 | Sorry
.
.
.
.
.

Sarah keluar dari dapur sambil membawa dua mug berisi matcha. "Yan, liat Alfan enggak?"

Sarah memanggil nama Rian tapi Dayat dan Hilman juga ikut menoleh.  Rian yang sedang rebahan sambil memainkan ponsel melirik sekilas, "ada di teras."

"Buat siapa tuh, Sar?" Tanya Dayat dengan intonasi di buat aneh. "Alfan aja yang dibuatin minum? Kita-kita enggak nih?"

Mereka bertiga cekikikan. "Ooh jadi Sarah sama Alfan nih? Gue kira sama babang Dika."

Hilman menggeplak kepala Rian sambil ikut tertawa aneh. "Anjir lo, Yan. Jangan keras-keras entar macan galak bangun. Mampus lo kalo anaknya denger."

Dika memang selalu tidur lagi setelah subuh. Anak-anak yang lain juga biasanya pada tidur di jam-jam seperti ini. Makanya Sarah sengaja membuatkan minum untuk Alfan saat mereka semua meringkuk di bawah selimut. Tapi ketiga curut itu hari ini malah melek.

Sarah membuat matcha untuk Alfan sebagai permintaan maaf soal tragedi kemarin. Sarah ingin memberinya saat Alfi sedang mandi agar pria itu tidak melihatnya. Padahal belum tentu juga Alfi peduli.

"Eh bukan gitu.  Tadi gue mau bikin teh anget, jadi sekalian gue bikinin juga buat kalian kok. Ambil aja di dapur, gue susah bawanya."

"Mantap, Sar. Cocok nih."

"Cocok gimana Yat?" Tanya Hilman.

"Cocok jadi idaman." Mereka tertawa.

Sarah tidak menggubris tawa ketiga cowok ini. Ia memutuskan menghampiri Alfan di luar. Langkahnya terhenti di ambang pintu menyaksikan Alfan yang sibuk memainkan laptop. Entah apa yang di kerjakan pria itu di pagi buta.

Perlahan Sarah mendekat...

💧💧💧

Di saat anak-anak KKN memilih tidur kembali, Alfan biasa duduk sendirian di teras untuk menikmati me-time sambil mengerjakan beberapa project. Menurutnya  waktu subuh seperti ini adalah waktu terbaik untuk mencari inspirasi. Ia juga butuh waktu sendiri untuk menenangkan pikirannya. Apalagi semalam ia tidak bisa tidur gara-gara tragedi kandang kambing kemarin.

Meski ada rasa bahagia saat ia berhasil memeluk Sarah, tapi kenyataan lain justru membuat Alfan kecewa.

Ia memang tidak bisa menyalahkan orang lain hanya gara-gara wajah mereka yang sangat mirip. Ia seharusnya tidak menyalahkan Sarah dan tidak seharusnya juga ia memarahi gadis itu hanya karena Sarah salah menyebut namanya. Tapi ia tidak bisa menahan diri untuk mengeluarkan kekesalannya saat itu.

Alfan terdiam, suasana hening seharusnya membuat kepalanya merasa rileks. Tidak ada suara yang benar-benar mengusiknya kecuali satu, detak jantungnya sendiri.

Tangannya perlahan meraba dada kiri. Merasakan detakan keras menggebu dari dalam saat pikirannya melayang pada momen itu. Ia tidak salah mengartikan detak jantung yang dimiliki Sarah saat itu. Ia dapat mendengarnya sebagaimana gadis itu mendengar detakannya juga. Sayangnya ia harus menelan rasa sakit karena gadis itu malah mengharapkan orang lain.

Sudah jelas bahwa namanya tidak pernah punya tempat di sana.

"Ekhem." Suara deheman kecil membuat Alfan menoleh sekilas.

Panjang umur, pikirnya.

Deheman kecil itu membuat Alfan sedikit ambyar. Alfan kembali menatap laptop sambil memasang topeng datarnya.

Sarah meletakkan mug di sebelah Alfan, kemudian duduk di bangku kayu yang bentuknya memanjang. Gadis itu tampak mengusap bahunya sendiri, sweater tebal yang ia kenakan tidak cukup menahan dinginnya udara pegunungan terutama di waktu subuh.

PETRICHOR [END] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang