18.

105 23 1
                                    

HP Meza tidak aktif semalaman dan itu membuat Farren khawatir. Cowok itu semalaman berusaha menghubungi Meza tapi tidak ada respons sama sekali. Farren uring-uringan, dia tidak pulang ke rumah dan pergi ke rumah Abay untuk memberikan kabar tersebut dan mencoba untuk meminta bantuan Abay guna ikut serta menghubungi Meza.

"Jam 2 pagi, Ren. Serius nggak mau tidur aja?" Abay dengan matanya yang mulai sayu bertanya. Cowok dengan kaos olahraga SMK-nya itu mengucek matanya yang mulai kantuk. "Nanti pagi aja lo samperin ke sekolahnya," saran Abay.

"Gue takut dia di apa-apain, Bay. Viral di TikTok gitu," desah Farren yang masih berusaha menghubungi Meza. "Lo tau sendiri, Bay, kasus itu viral banget pada masanya karena korban juga bukan orang sembarangan. Kalau dia dipenjarain, gimana?"

"Ya itu urusan dia. Kan dia salah," respons Abay. "Gue bukan nggak mau belain dia, dia juga temen gue. Cuma lo harus sadar, kalau lo terlalu jauh, lo bakalan keseret."

"Dia cewek, Bay ...,"

"Dia bisa jaga diri."

"Dia nggak punya temen, Bay."

"Dia punya Tuhan. Dia punya orang-orang yang dukung dia tanpa lo tau," Abay bangkit dari posisinya. Di bengkel yang terang itu Abay menghampiri Farren yang duduk di kursi yang cukup jauh dari kursi duduknya tadi. "Meza emang nggak keliatan punya 'sosok dan peran' tapi dia pernah bilang ke gue kalau dia punya Tuhan, dia bisa punya segalanya."

Farren terdiam. Cowok itu merasakan bahunya ditepuk oleh Abay. Dia tersenyum kecil dan mengangguk, menyakinkan Farren bahwa semuanya akan baik-baik saja.

"Biarin dia menghadapi masalahnya sendiri. Terkadang kita juga punya masalah di mana cuma kita sendiri yang punya solusinya," pesan Abay. "Kita cuma temennya, bukan Tuhan-nya yang bisa bantu semua masalah dia. Kendaliin hal yang bisa lo kendalikan."

****

Acara makan makan malam ini cukup-bahkan bisa dibilang sangat menyenangkan. Namun hal ini tidak dirasakan oleh Farren. Dia hanya melihat Ghazi yang sibuk bolak-balik bersama sepupunya yang lain.

Farren menggoyangkan gelas yang berisi minuman tanpa minat. Perasaan Farren campur aduk sekarang. Meza masih belum bisa dihubungi bahkan cewek itu tidak sekolah. Dia juga sudah berusaha ke rumahnya tapi tidak ada siapa-siapa di sana. Pikiran Farren semakin berkecamuk.

"Ngapain lo di sini?" tanya Ghazi. "Gabunglah sama yang lain. Pada nanyain juga."

"Berita tawuran itu lo tau?" balas Farren.

Ghazi mengangguk. "Bukan anak gue tapi. Kenapa?"

"Meza katanya pelaku pembacokan itu," jawab Farren. "Gue mau ketemu sama dia. Dia gak bisa dihubungin, gue cari ke sekolah sama ke rumahnya juga nggak ada."

"Nyokap bokapnya juga?" tanya Ghazi.

"Bahkan Gevan juga gak ada," desah Farren frustasi. "Gue harus cari di ke ...,"

Farren menghentikan ucapannya saat sebuah tempat terlintas dipikirannya. Ditatapnya Ghazi yang mengangkat alisnya kebingungan dan dengan sekali gerakan dia mengambil jasnya serta menyimpan gelas yang ada di tangannya. Dia harus bertemu dengan Meza. Bagaimana pun caranya.

****

Entah mengapa suhu malam ini tidak begitu dingin seperti biasanya. Kaki kanan yang hanya beralaskan sandal jepit ando berwarna merah muda, kaos pendek hitam serta celana loreng membalut tubuh bongsor seorang gadis yang tengah duduk di atas bebatuan dan dilapisi oleh sebelah sandalnya.

Satu bungkus rokok sudah habis dihisapnya. Tiga kaleng minuman bersoda sudah dia teguk. Di kepulan asap terakhir, gadis itu membuang puntung rokoknya dan memejamkan mata.

RationemWhere stories live. Discover now