11. Tembok Sekolah

141 18 0
                                    

Meza melihat nilai rapot tengah semesternya tanpa ekspresi. Ini pertama kalinya dia mendapatkan nilai yang cukup—bahkan sangat memuaskan. Nilainya di atas 70 semua. Mungkin berkat les-nya selama dua minggu lebih. 

"Mami nggak sia-sia ngelesin kamu. Liat, nilai mau meningkatkan drastis, ‘kan?" Maminya datang, dia masuk ke dalam kamar Meza yang pintunya tidak dikunci. "Coba dari dulu pasti udah selalu jadi juara," imbuhnya. 

"Mami kenal Kak Gerald, di mana?" tanya Meza. Cewek itu menoleh pada sang ibu yang tengah berdiri di dekat lemari pakaiannya. 

Mami mengangkat kedua bahunya sambil bersedekap dada. "Dia anak temen Mami," jawabnya. 

Jujur selama belajar dengan Gerald, Meza benar-benar merasa terbantu. Cewek itu merasa bahwa cara Gerald menyampaikan materi, menjelaskan setiap soal dan memberi beberapa saran padanya sangatlah nyaman.

Meza selalu menolak les, tetapi jika dengan yang ini, tidak. Meza rela harus 24 jam belajar, asal diajarkan oleh Gerald. Si Mahasiswa Universitas Gardana jurusan Fisika Nuklir. Tidak hanya pintar, tampan juga menjadi nilai tambahan untuk Gerald. 

"Kamu nyaman gak belajar sama dia? Kalau nyaman sampai lulus sama …,"

"Dia juga kuliah, Mi. Kasian, sibuk," sela Meza. "Dia udah semester empat."

"Dia nggak masalah, orang tuanya juga nyuruh," cetus Mami. "Anaknya nurut banget, Mami suka."

"Dibayar?" Meza menaikan alisnya, dia menyandarkan punggungnya di kursi belajar. 

"Menurut kamu? Emang zaman sekarang ada yang gratis?" cibir Mami. "Cuma emang nggak mahal, lumayanlah." 

Kadang Mami itu cuek tapi jika dia sudah sangat peduli Meza tidak bisa melawan. Mami sebenarnya pengertian, hanya saja dia tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan rasa kasih sayang kepada anak-anaknya. 

Walaupun Meza paham akan hal itu. Namun tetap saja terkadang dia sering berpikir kalau kedua orang tuanya tidak menyayangi Meza. Itu … hal wajar, 'kan?

"Dia juga mau lanjut S2. Keren, ya? Setiap ketemu ibunya, pasti ceritain Gerald," kata Mami. "Anak tunggal juga sih, makannya ibu dia sayang banget. Apa pun yang Gerald minta pasti dikasih juga."

"Dia kenapa  nggak kuliah di PTN aja, Mi? Malah pilih univ swasta," Meza mulai penasaran dengan Gerald Wijanarko. 

"Lebih deket dari rumah mungkin," Mami menaikan kedua bahunya, lagi. Dia duduk di kasur Meza dan menambahkan, "ibunya emang lumayan strict, anaknya jangan jauh-jauh."

Meza mengangguk paham. "Tapi dia keliatan mandiri," timpal Meza. 

"Iya emang anaknya mandiri cuma orang tuanya loh," Mami melirik jam dinding di kamar Meza. "Astaga, Mami lupa loh …."

"Apa?" 

"Ibunya udah buat janji biar kamu sama Gerald ketemu. Sana siap-siap!" Maminya bangkit dari posisi dan langsung membuka lemari milik Meza, mencari pakaian. 

"Lah? Kok mendadak?" Meza protes tidak terima. "Mi, apaan ish gak mau …," rengeknya menarik tangan Mami setelah berhasil membawa kursi meja belajarnya yang beroda itu mendekati lemari. 

Mami melirik sang putri. "Mami lupa, lagian jam 7 kok masih lumayan lama. Masih banyak waktu buat siap-siap kamunya," jelas Mami.

"Kalau resmi gini aku malu. Buat janji gimana, coba?" gerutu Meza. 

"Resto … mungkin?" terka Mami. Dia meraih sebuah dress putih selutut. "Nah, ini dress bekas Mami dulu. Pake ini …."

"Nggak mau! Ish, Mami apa sih, masa pake dress?" Meza bangkit dari posisinya. 

RationemWhere stories live. Discover now