10.

138 20 0
                                    

Suara motor dan mobil saling bersahutan. Klakson di jalan raya benar-benar memegangkan telinga. Asap rokok yang dikepulkan tidak kunjung padam. Seseorang yang duduk di samping Meza berdecak dan meremas gelas minuman ale-ale yang habis.

"Lu nyebat 5 batang mati anjir kalau gue," decak Nico. Dia menoleh ke belakang rolling door toko di mana Jo tengah melayani beberapa pembeli. "Ketauan si Abang mampus lo."

Meza membuang puntung rokok dan menginjaknya. Cewek itu mengambil sekaleng soda yang belum dia minum sama sekali dan meneguknya setengah.

"Ya elo jangan bilang," jengah Meza.

"Cowok waktu itu, siapa?" tanya Nico.

Iya, Nico adalah orang yang menjemput Meza di pameran tempo hari. Awalnya dia ingin meminta tolong Jo, tetapi cowok itu sedang ada pertemuan keluarga jadi dia meminta Nico untuk menjemputnya.

Nico juga sebenarnya sibuk, cowok itu sedang mengerjakan tugas tapi Meza bilang kalau dirinya harus cepat pulang, takut kedua orang tuanya lebih dulu sampai.

Nico tau kondisi keluarga Meza.

"Bukannya gue udah kasih tau?" balas Meza. "Gak usah pura-pura pikun."

"Lebih spesifiklah. Orang kemarin lo bilang nama dia Farren aja."

Meza tidak tahu apa yang membuat dirinya dengan Farren sedekat sekarang. Dekat yang maksudnya akrab. Mereka selalu saling mengabari bila sedang nongkrong.

"Ya emang Farren tolol," decak Meza.

Nico menendang pelan kaki Meza. "Gak usah ngumpat."

"Anak SMK," ujar Meza.

"Kenal dari mana?" tanya Nico. "Kok bis—"

"Abis ini mau langsung balik atau ke Waras dulu?" tanya Jo yang baru saja datang. Dia menunduk, menatap sepatunya yang talinya lepas.

"Balik, bokap ada soalnya." Meza mengikat rambutnya, dia mengusap hidungnya dan berdiri. "Balik dulu, nanti—"

"Gue anter dah ayo, lo ke sini sama dia, kan?" Jo menunjuk Nico.

"Sendiri—"

"Kalau bisa dibantu nggak usah sendiri-sendiri."

****

Meza dan Jo kenal sejak masuk SMA. Sebenarnya, mereka dulu satu SMP tetapi tidak seakrab sekarang. Jo itu ganteng, gantengnya ganteng orang Eropa karena ayahnya orang Amerika.

Melihat Jo itu seperti melihat abangnya sendiri. Jo adalah sosok orang yang peduli, perkenalan mereka pun sangat berkesan pada Meza. Bahkan sampai sekarang.

"Kenapa berhenti?" Meza melirik kedai mie ayam yang cukup sepi. Tidak hanya mie ayam, ternyata kedai ini juga menjual boba.

Jo melepaskan helm yang dia kenakan. Dia memutar sedikit tubuhnya untuk melihat wajah Meza. "Makan dulu, lo pasti belum makan, kan?"

"Tau aja," Meza menyengir. Dia memegang pundak Jo dan turun. "Ini tempat yang pernah Nico bilang itu, ya, Jo?"

"Iya, katanya enak. Gue juga penasaran," balas Jo. "Ayo masuk."

Setelah Jo memesan makanan dia mengajak Meza duduk dekat kipas angin. Cowok itu sempat mengambil dua botol minuman dan membukakan tutupnya sebelum memberikannya pada cewek itu.

"Gimana rumah?" tanya Jo.

Meza mendongak, dia tahu pertanyaan ini akan dilontarkan jika mereka hanya berdua saja. Meza mandiri, tetapi tidak munafik dia membutuhkan orang untuk dia ajak bercerita.

RationemWhere stories live. Discover now