3. Cat Rambut

172 20 0
                                    

"Orang pintar itu bertindak, bukan banyak bicara."

****

Tangannya masih memegang kunci pintu. Jantung Meza berdebar saat papi menghampirinya. Pria itu mengambil alih kantung plastik yang Meza bawa, beliau rebut secara paksa.

Maminya ada dibelakang mengikuti. Namun wanita itu tetap diam. Sedangkan Gevan, dia berdiri di tangga paling bawah dan memperhatikan Meza. Tatapan cowok itu sulit diartikan, tetapi yang pasti dia tidak bisa menolong Meza.

"Ngapain beli kayak ginian?!" tanya Papi kasar. "Kurang apa makanan yang Papi beli dan Mami kamu masak sampai-sampai kamu beli makanan yang nggak sehat ini?!"

Meza meneguk ludahnya kasar. Tidak sadar tangan dibalik saku jaket itu mengepal. Rasa cemas memenuhi perasaan cewek itu.

Adegan ini sudah Gevan prediksi. Adiknya pasti terkena amuk karena membeli makanan instan yang memang sudah dilarang di rumahnya dan semua itu adalah aturan yang dibuat papi.

"Meza cuma ... Pi!" Meza memekik saat kantong plastik tadi dilempar oleh papinya. "Maksud papi, apa?" tanya Meza.

Dia sudah muak dan dia sadar kalau sudah melampaui batasnya. Meza hanya ingin makan. Cewek itu ingin merasakan makanan yang teman-temannya rasakan juga.

"Kamu tahu kalau makanan itu tidak sehat?" sinis Papi. "Kenapa masih kamu beli? Papi udah larang."

Overprotektif, begitulah sifat papi yang sangat Meza benci. Apa pun yang pria itu anggap salah, tidak peduli sudut pandang orang lain bagaimanapun tetap akan salah.

Meza menatap papinya dengan mata memerah, menahan amarah. Cewek itu bergerak ingin mengambil kantong plastik tadi. Namun tangannya ditarik oleh papinya hingga kepalanya menoleh.

Tahu ke mana tujuan papinya, Meza menolehkan kepalanya kasar. Namun tanpa dia duga, pria itu menarik rambutnya cukup keras.

Poni bagian dalam yang dicat warna biru itu terlihat. Wajah papinya merah padam, napasnya naik turun. Dia mendorong kepala Meza cukup kasar hingga anaknya mundur beberapa langkah.

"Apa-apaan kamu, hah? Kenapa rambut kamu dicat?!" hardik Papi.

Meza merasa sedikit pusing dengan teriakan papinya. Cewek itu hanya menggelengkan kepalanya beberapa kali dan menunduk.

"Mau jadi anak pembangkang kamu, hah? Mau jadi apa kamu rambut dicat kayak gitu?" tanya Papi. "Jawab, Meza!"

"Enggak!" jerit Meza, dia menggelengkan kepalanya. Kupingnya terasa pengang, kedua tangannya masih di dalam saku jaket dan mengepal. "Meza nggak, Meza ...."

"Pi." Mami bergerak maju, meraih tangan suaminya lembut. "Udah, jangan marah lagi. Kasian Meza ...."

"Ini semua gara-gara didikan kamu!" Papi jadi melampiaskan amarahnya pada Mami. Pria itu menunjuk Meza dan berkata, "Dia anak jadi anak pembangkang nggak tau diri gara-gara kamu nggak becus ajarin dia!"

Ini sudah hal biasa. Kesalahan Meza adalah kesalahan maminya. Saat papi pergi ke kamarnya kembali cewek itu kembali menundukkan kepalanya, dia menghela napasnya.

"Emang kamu tuh biang masalah ya, Za," celetuk Mami. "Udah tau punya Papi kayak gitu, masih aja. Kamu seneng liat mami dimarahin?"

RationemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang