13. Sick

125 18 0
                                    

Suasana di dalam kamar Ghazi hening. Dua orang di dalam ruangan itu duduk berjauhan dengan kepala menunduk setelah pertempuran yang membuat wajah mereka memar dan berdarah. 

"Berawal dari gue pacarin dia karena taruhan," celetuk Ghazi. 

Farren mendongak, tatapan tajamnya menusuk sang kakak. Dadanya semakin naik turun, mengontrol emosinya yang hendak meledak. Farren tidak menjawab, dia berusaha mendengarkan.

"Gue kena tipu temen waktu itu. Utang 7 juta harus ada hari itu juga dan posisinya gue di sini sendiri," ungkap Ghazi. "Gue bingung, di situ gue kelabakan cari uang. Gue takut dan gue dapet saran dari temen buat …,"

"Jadiin Meza sebagai bayarannya?" tebak Farren, dia lalu terkekeh sinis. "Gila lo semua!"

Ghazi menghela napas. Dia meringis saat merasakan perih diujung bibirnya akibat pukulan Farren yang sangat keras. Baru tahu kalau adiknya itu pintar meninju orang.

"Gue langsung balik ke Bandung, kan, waktu itu? Itu karena gue dikejar mereka. Gue kabur," terang Ghazi. "Buat balik ke sini rasanya berat. Gue ngerasa bersalah." 

"Kalau nggak merasa bersalah ya lo bajingan namanya," hina Farren. "Sial."

Ghazi adalah mantan pacar Meza. Cewek yang pernah hampir dia jual hanya untuk melunasi utang-utangnya. Dulu memang Ghazi tinggal sendiri di sini. Dia sempat SMP selama 2 tahun sebelum kembali ke Bandung dengan alasan yang tidak jelas. 

Keluarganya sempat bertanya-tanya kenapa Ghazi ingin pulang ke Bandung setelah kekeuh ingin di Bekasi bersama sepupunya. Ternyata pergaulannya dengan sepupunya itu tidak bagus. Dia menjerumuskan Ghazi ke dalam hal yang salah. 

"Bukan salah gua sepenuhnya anjing, temen gua yang bangsat," protes Ghazi. 

"Ya lo tolol mau-mau aja," tampik Farren. "Mikir, yang lo jual tuh anak orang. Pacaran pun bukan sepenuhnya cinta tapi karena taruhan. Otak lo soplak?" 

Sungguh, jika di hadapannya ini bukan Ghazi kakaknya, dia sudah mengahabisi Ghazi sekarang juga. 

"Minta maaf tolol sama dia," desis Farren. "Wah tai, gue pengen matahin tulang lo sekarang."

Ghazi menaikan alisnya dan terkekeh. "Emang berani?" 

"Kenapa, nggak? Lo ngelakuin hal yang salah. Kenapa harus nggak berani?" 

Selama ini Farren selalu mengalah, selalu menjadi 'salah' pada Ghazi. Namun untuk yang sekarang, tidak. Kelakuan Ghazi yang satu ini tidak bisa dia maafkan. 

"Gua malu," cicit Ghazi, dia menghela napasnya. "Dia juga nggak mau ketemu sama gue. Jadi gue …"

"Nggak mau ketemu sama dia?" terka Farren, dia berdecih. Ghazi terlalu berengsek untuk Meza yang menurutnya terlalu baik. 

Ghazi adalah orang yang tidak tahu diri yang pernah Farren temui. Minta maaf jangankan ke orang lain, ke orang terdekat seperti Farren atau teman-temannya pun cowok itu jarang. Hanya satu alasannya, gengsi. 

"Gengsi lo terlalu tinggi," sebut Farren. Dia menyeka darahnya diujung bibir dan meringis. "Minta maaf enggak bikin lo jadi manusia paling hina. Lo nggak tau seberapa luka dan trauma yang Meza tanggung atas perbuatan biadab lo itu."

Setelah mengatakan hal tersebut Farren bangkit dari posisinya yang duduk di atas karpet. Dia meninju bahu Ghazi yang sedang duduk di atas kursi meja belajarnya sendiri sebelum keluar kamar. 

Ghazi merenung. Mungkin dia memang benar-benar harus meminta maaf pada Meza. Akan tetapi, kapan?

****

"Meza nggak sekolah, sakit." 

Jari Jo yang tengah menekan-nekan tombol di kalkulator berhenti. Soal Ekonomi sudah tidak lagi membuatnya tertarik. Kini yang membuatnya tertarik adalah ucapan Rama tentang Meza yang tidak sekolah karena sakit.

RationemWhere stories live. Discover now