"Makasih ya udah temenin gue, Al."
Nana baru saja menutup pintu kamar papanya. Setelah acara makan malam, Nana membujuk papanya untuk segera beristirahat, paling tidak setelah Darius tertidur dia sudah tidak mengkhawatirkan keadaan sang papa lagi.
"Itulah artinya sahabat, Na. Mereka akan selalu ada bukan hilang, saat yang lain sedang terjatuh atau bersedih." Alya mengusap pipi Nana dengan telapak tangannya dan menebar senyum.
"Makasih sekali lagi, Al. Eh ngomong-ngomong sebelum pulang, lo bungkusin si Alma nasi ama sate ayamnya ya. Pasti dia bakalan seneng banget. Kangen gue sama adik lo itu, udah lama gue nggak pernah liat dia lagi."
"Dia juga beberapa kali nanyain lo, Na."
"Kapan-kapan deh gue main ke rumah lo. Tentunya kalau bunda lo nggak ada di rumah. Lo tau bunda lo nggak seneng kalau gue main ke sana," tandas Nana sambil membungkus nasi dan lauk untuk dibawa pulang Alya.
Flashback on
Nana membuka beberapa bungkusan yang dia bawa dari rumah. Siang tadi tante Maryam membuat martabak dan masih tersisa banyak di rumah. Nana membungkusnya rapi dan membawanya ke rumah Alya. Alma yang melihat kedatangan Nana berlari-lari kecil menghampirinya.
"Kak Nana kemana aja? Kok udah lama nggak jengukin Alma di sini?" Gadis kecil itu menarik-narik rok Nana dari belakang.
"Ih Alma udah makin gede aja, duh ... makin cantik lagi." Nana membalikkan badan lalu menggendong Alma dengan gemas. "Kak Nana sibuk akhir-akhir ini, tanya deh ama kak Alya."
Alya yang ada disamping Nana hanya tersenyum melihat tingkah lucu adik dan sahabatnya. "Coba lihat apa yang dibawa kak Nana, pasti Alma suka deh." Alya memotong sedikit martabak itu dan menyuapkannya pada Alma.
Plak
Tiba-tiba seseorang menepis tangan Alya. Martabak itu jatuh melayang dan teronggok di lantai. Fani sudah berdiri diantara mereka dengan rahang yang sudah mengeras. "Itu makanan dari mana? Nyolong kamu, Alya?"
"E--enggak, Bun. Itu Nana yang bawa," jawab Alya terbata-bata dengan muka ketakutan.
"Iya, Tan. Itu saya yang bawa dari rumah. Alya nggak akan mungkin mencuri. Saya sahabatnya dari dulu, saya tau siapa Alya," ucap Nana yang sukses membuat emosi Fani naik ke ubun-ubun.
"Saya ibunya, saya lebih tau daripada kamu," balas Fani menyorot netra Nana dengan tatapan tak suka. "Lagian kamu ini bertamu maghrib-maghrib begini! Emang nggak ada jam yang lain apa?"
"Maaf Tante, saya cuman mau melihat Alma sebentar dan mengantar martabak ini." Nana menghindari tatapan Fani dan menunduk menyembunyikan wajahnya.
"Saya saja yang bukan muslim tau tata krama bertamu, kamu malah sebaliknya. Silahkan kamu pulang sekarang!"
"Ba--baik, Tan. Saya pulang sekarang."
Flashback off
"Gue pulang sekarang, Na," pamit Alya seraya memeluk sahabatnya itu. Nana mengantar Alya sampai di ujung blok rumahnya.
Setelah kurang lebih tigapuluh menit berjalan, Alya memasuki pekarangan rumahnya. Rumah bercat putih itu terlihat sudah gelap. Lampu-lampu sudah dipadamkan, it artinyai Bunda dan adiknya sudah tidur, padahal jam baru menunjukkan jam 7 malam. Alya melangkahkan kaki mengendap-endap pelan memasuki pekarangan rumahnya.
Kreek
Pintu ia buka perlahan. Dengan berjinjit, Alya mulai melangkah masuk berusaha sebisa mungkin tidak menimbulkan suara apapun.
Klik
Lampu tiba-tiba menyala. Bagai seorang maling yang tertangkap basah, Alya tak bisa berbuat apa-apa kecuali berpasrah pada sang Ilahi.
"KEMANA SAJA KAMU, HAH?"
🥀
Alveno mengayuh sepedanya lebih cepat, tinggal beberapa meter lagi dia sampai ke rumahnya. Setelah melewati beberapa jalan kecil, tibalah anak itu pada sebuah rumah besar dengan gaya victoria dengan cat warna kuning terang. Alveno lalu memarkir sepedanya di halaman luas rumah itu. Setelah mengunci kembali pagar rumah, Alveno melangkah masuk ke dalam rumah. Langkahnya terhenti saat ia melintasi ruang tamu. Diatas sofa berwarna hitam, tergeletak sesosok tubuh wanita yang tak lain adalah mamanya, Santi.
Alveno mendesah kasar, sudah beberapa kali ia melihat mamanya seperti ini, mabuk hingga tak sadarkan diri. Pelan-pelan anak lelaki itu menyentuh pundak Indah.
"Ma ... Ma, bangun. Ini Alveno, Ma," ucap Alveno pelan sambil menatap beberapa botol bir yang tergeletak diatas meja. Perempuan itu hanya bergerak sedikit tanpa membuka mata. Alveno bisa mencium bau alkohol dari mulut mamanya. Anak itu hanya menggeleng pelan.
Perlahan Alveno mengangkat tubuh Santi dan memapah perempuan dengan potongan rambut bob itu. "Sudah pulang kamu?" suara Santi bergetar terdengar seperti sebuah racauan.
"Iya, Ma. Mama minum lagi?" tanya Alveno masih berusaha dengan sekuat tenaga memapah Santi.
"Memang kenapa kalau mama minum lagi? Kamu ada urusan apa?" Indah mendorong Alveno menjauh darinya. Perempuan itu melangkah terhuyung sambil memegangi kepalanya.
"Ma, mama hampir tiap hari begini. Mama mau jadi apa?"
"Kamu anak kecil emang tau apa? Ini semua kan juga gara-gara kamu!" Santi meninggikan nada suaranya.
Alveno menarik sebuah napas dalam lalu menghembuskannya kasar. "Kenapa mama selalu menyalahkan Alveno? Alveno salah apa, Ma?"
Alveno Alessio, anak lelaki berhidung mancung itu berdiri mengarahkan pupil beningnya pada wanita yang terhuyung sambil menggapai-nggapaikan tangan mencari sebuah tumpuan untuk bersandar. "Mama nggak boleh terus begini, mabuk hampir setiap hari nggak akan menyelesaikan masalah, Ma."
"Ka--kamu dengar ya baik-baik, Al. Mama sudah capek dengan semua ini!" Indah menjeda ucapannya. "Sekian lama mamamu ini sudah berbakti pada papamu, tapi apa yang mama dapatkan sekarang? Dia bukanlah angsa yang mama kira dulu! Bukan, dia bukan sama sekali!"
"Apa maksud mama?" Alveno masih tak mengerti arah pembicaraan Santi, dia masih berusaha mencerna apa yang dikatakan mamanya lalu anak laki-laki itu mendekati Indah dan bermaksud untuk memapahnya, namun Santi menepis uluran tangan Alveno.
"Masih ingat saat kita dulu sering pergi ke danau dan melihat angsa di sana?" Cairan bening mulai menggenang di kedua pelupuk mata Santi. Wanita itu tak kuasa menahan perasaan yang sudah lama dipendam selama ini. "Papamu bukanlah seekor angsa, dia seekor srigala!"
"Mama! Jangan berkata yang tidak-tidak. Mama terlalu banyak minum alkohol. Mama sedang mabuk, pikiran mama sedang tidak jernih!"
Santi mendecih, rasa sakit itu tiba-tiba menyeruak dalam hatinya. Sebuah bingkai foto keluarga kecil yang terpajang di ruang tamu menjadi pusat perhatiannya sekarang. "Laki-laki ini pelan-pelan sudah menghancurkan hati mama. Mama sudah capek, Al! Mama sudah berusaha memberikan yang terbaik buat papamu. Tapi apa yang mama dapatkan darinya? Hanya sebuah kebohongan belaka! Mama benci papamu, mama benci!" Indah menumpahkan airmatanya. Perempuan itu menangis sambil memukul-mukul foto yang terpatri di dinding. Alvneo segera menghambur ke arah mamanya, mendekapnya erat lalu berbisik pelan, "Ma, kan masih ada Alveno disini. Mama nggak sendirian. Nanti kalau papa pulang, Alveno bakal ngomong sama papa."
"Kamu anak kecil bisa apa? Hati mama sudah terlanjur sakit, Al! Mama sudah nggak tahan lagi!"
🥀
Assalamualaikum...
Suka ga dengan part ini?
Gimana nasib Alya selanjutnya? Ada apa dengan papa Alveno?
Tungguin chapter berikutnya ya...Jgn lupa bintang dan komennya ditunggu.
Wassalam
DS. Yadi

YOU ARE READING
Ratap (TAMAT)
Romance"Bunda kan udah bilang, makan makanan yang ada di kolong meja, bukan di atas meja!" Ini kisah anak-anak malang yang memperjuangkan hidup dan kebahagiaan. Tentang bakti seorang anak pada orangtua, tentang persahabatan, dan tentang cinta. Alya Aqwaa V...