"Mama? Mama menangis lagi?"
Alveno sudah berdiri di depan Santi yang sedang menangis. Buru-buru Santi menghapus airmata di pipinya lalu menghambur memeluk anak semata wayangnya itu.
"Alveno anakku," lirihnya pelan. Santi yang nampak terlihat semakin kurus dan seperti tak lagi mampu merawat diri membelai lembut pucuk kepala Alveno.
"Mama kenapa menangis lagi?" tanya Alveno sekali lagi menatap mamanya lurus.
Perempuan itu hanya terdiam menatao balik wajah tampan Alveno lalu mengukir senyum tipis. "Mama nggak nangis kok, sayang. Mama baik-baik saja." Santi berusaha bersikap normal seakan tak terjadi apa-apa dengan dirinya. Namun Alveno tentu saja tahu perubahan yang terjadi dalam diri Santi.
"Mama nggak usah berbohong. Mama masih sedih 'kan?" kata Alveno tajam. Kali ini Santi memalingkan wajahnya dari tatapan Alveno. Kedua netra hitam perempuan itu kembali berair.
"Siapa yang tidak bersedih, Alveno. Hampir 15 tahun mama membangun rumah tangga ini dengan segala masalah dan rintangannya, namun kini semuanya hancur begitu saja. Mama tak mampu mempertahankan keutuhan keluarga kita. Mama bukan istri yang baik buat papamu. Mama ...."
"Tapi Mama adalah ibu terbaik yang Alveno punya," potong Alveno tak ingin menambah kesedihan yang dirasa Santi saat ini. "Mama masih punya Alveno. Mama nggak perlu bersedih lagi. Tanpa Papa pun kita bisa hidup. Mama harus kuat. Dan Alveno yakin Mama bisa melalui ini semua."
Butir-butir bening itu kembali luruh ke pipi Santi. "Anakku sayang ... betapa mama sangat mencintaimu, Nak. Mama tidak tahu lagi kalau sekarang ini tidak ada kamu di sisi mama. Terima kasih sudah membuat mama bisa bertahan sampai di detik ini."
Alveno kembali memeluk erat Santi. Dalam hatinya ia juga merasakan apa yang Mamanya rasakan. Memang sungguh sakit bila hati kita dikhianati orang yang begitu sangat kita cinta dan sayangi. Alveno yakin ia dan Mamanya akan mampu melewati cobaan ini. Tanpa Alveno rasa, airmatanya pun ikut mengalir.
"Semua akan baik-baik saja, Ma," ucapnya lirih
🥀
"Sebenarnya kamu ...."
Mirna kembali tak melanjutkan kata-katanya. Perempuan itu tak mau kalau anaknya sampai tahu dengan apa yang terjadi di masa lalu keluarga mereka. Rahasia itu harus ia kubur dalam-dalam, jangan sampai muncul di permukaan.
"Sebenarnya apa, Ma? Katakan!" Baby Alisha semakin penasaran pada apa yang akan dikatakan Mamanya. Gadis itu menatap kedua orangtuanya bergantian.
"Sebenarnya kamu mempunyai seorang Tante, sayang." Mirna akhirnya membuka salah satu rahasia yang selama ini mereka simpan rapat-rapat agar keutuhan keluarganya bisa tetap dijaga dengan baik.
"Tante?" Baby Alisha membuka kedua matanya lebar-lebar.
"Ya sayang, kamu tak hanya mempunyai Om Permana tapi kamu juga mempunyai seorang Tante." Permadi menambahkan ucapan Mirna sambil menelan ludahnya pelan.
"Om Permana mempunyai seorang istri?" tanya Baby Alisha antusias. Dia tak menyangka kalau dirinya masih mempunyai anggota keluarga yang lain.
"Bukan, sayang. Dia adalah saudara kandung mama. Dia kakak mama, namanya Mira," jawab Mirna terbata. Air muka perempuan itu beberapa saat berubah. Ada mendung yang bergelayut di sana, yang membuat Mirna menahan napasnya untuk sesaat. Airmata yang mulai menggenang di pelupuk mata perempuan itu pun sepertinya akan mulai berjatuhan.
"Kenapa, Ma? Kenapa Mama seperti bersedih seperti itu? Apa yang terjadi dengan Tante Mira?" Dua manik milik Baby Alisha memandang tajam Mirna yang kini duduk lemas seperti tak bertenaga.
"Sayang, biarkan Mamamu beristirahat dulu. Dia terlalu banyak pikiran akhir-akhir ini. Bukankah kamu ingin melihat senyum Mamamu lagi? Biarkan dia dulu, sayang." Permadi menyentuh bahu Baby Alisha dan mengelusnya pelan berharap anaknya itu tidak mencecar istrinya dengan pertanyaan-pertanyaan yang makin membuat Mirna semakin terpojok.
Baby Alisha menepis tangan Permadi kasar. "Tidak. Baby Alisha harus tahu dengan apa yang sudah terjadi," kata anak gadis itu tak mau mengalihkan pandangannya dari Mirna.
"Kami bersaudara tapi kami tidak pernah akur. Mama dan Tante kamu sering kali bertengkar. Apapun itu kita selalu saja berselisih paham. Mama masih muda. Mama terlalu egois hingga mama tak pernah menghiraukan perasaan Tante kamu. Mama tahu mama sudah berbuat salah, tapi nasi sudah menjadi bubur. Mama belum bisa minta maaf pada Tante kamu hingga suatu malam kita harus berpisah dan tidak bisa bertemu lagi hingga sekarang." Sambil mengusap airmata yang sudah berlinang, Mirna bercerita tentang sosok Mira, kakaknya.
Baby Alisha mendengarkan cerita Mirna dengan seksama. Gadis itu merasa bersyukur karena dia masih mempunyai seorang Tante. "Dan Mama tidak tahu dimana keberadaan Tante Mira sekarang ini?"
Mirna menggeleng pelan dan tanpa diketahui Baby Alisha dan Permadi, perempuan itu mendorong rapat laci meja riasnya dimana foto sebuah rumah itu tergeletak.
🥀
Nana baru saja membereskan buku-buku yang tergeletak di meja belajarnya. Sudah hampir jam sepuluh malam namun matanya masih belum bisa dipejamkan, padahal besok hari Senin dia sudah harus kembali beraktifitas seperti biasa di sekolah. Nana naik ke atas ranjang dan menarik selimutnya hingga sebatas perut.
Gadis itu menerawang menatap langit-langit kamarnya yang bercat putih. Minggu malam yang sunyi, sesunyi kamarnya saat ini. Hanya detak jarum jam yang terdengar mengisi ruang sempit itu. Nana melirik jam yang tertempel di dinding. "Dua jam lagi," lirihnya dalam hati.
Kedua bola mata bening Nana menatap jarum jam yang berjalan lambat mengikuti rotasinya. Perlahan bola mata itu berubah warna, sedikit memerah dengan genangan air yang siap untuk ditumpahkan. Tubuh gadis kecil itu bergetar seperti ada sesuatu yang tak mampu ia tahan.
Waktu yang berjalan begitu lambat seakan dengan sengaja ingin mengiris dan menguliti perasaan Nana yang mulai tercabik. Jam 12 malam nanti adalah malam dimana awal malapetaka kesedihan dan keterpurukan Papanya dimulai. Nana tak bisa membayangkan bagaimana hancurnya perasaan Darius yang harus merelakan orang yang amat dicintainya pergi untuk selama-lamanya.
Nana menarik selimut menutupi wajahnya. Gadis kecil itu menangis tertahan. "Maafkan aku, Papa. Karena aku dirimu menderita seperti ini. Maafkan Nana, Pa!" lirih Nana diantara isak tangisnya.
Setiap tahun selalu saja ada tangisan di hari itu. Hari yang semestinya sangat spesial untuk orang-orang yang merayakannya tapi bukan spesial bagi Nana, karena hari itu ia harus memisahkan dua insan manusia yang saling mencintai dan saling menyayangi. Hari dimana kesedihan itu tercipta hingga bertahan bertahun-tahun lamanya hingga Nana beranjak dewasa seperti ini. Hanya satu yang Nana ingat dari sang Papa, "menyakitkan, Na. Hati papa sakit."
Itulah kata-kata Darius yang masih terngiang di dalam pikiran Nana di hari itu selama bertahun-tahun, hari dimana seharusnya ia berbahagia, hari dimana merupakan langkah awal untuk masa depan yang bahagia. Namun tidak, semua itu hanyalah mimpi buat Nana. Hari itu adalah hari yang penuh duka dan airmata, yang tak akan pernah lupakan sepanjang hidupnya, sampai kapan pun itu.
🥀
Assalamualaikum
Akhirnya aku up lagi yaa setelah sekian lama hehe
Udah pada kangen pasti yaa, doain semoga author sehat-sehat selalu🙏
Jangan lupa tinggalin jejak ya gaes❤
Wassalam
DS. Yadi

STAI LEGGENDO
Ratap (TAMAT)
Storie d'amore"Bunda kan udah bilang, makan makanan yang ada di kolong meja, bukan di atas meja!" Ini kisah anak-anak malang yang memperjuangkan hidup dan kebahagiaan. Tentang bakti seorang anak pada orangtua, tentang persahabatan, dan tentang cinta. Alya Aqwaa V...