"Kamu tidak akan pernah mengerti, Alveno."
Arya Alessio, papa Alveno menggumam getir dengan rahang yang mengatup rapat. Kedua bola matanya merebak basah hanya karena sekali lagi mengingat kenangan-kenangan indah bersama istrinya, Santi. Mahligai yang mereka bina selama puluhan tahun itu goyah dengan sebuah alasan, alasan yang sulit untuk diucapkan oleh lelaki berambut hitam kelam itu. Tercipta sebuah luka yang menganga diantara mereka berdua, walau asa kadang itu ada. Tapi Arya sudah memilih jalan lain, jalan yang akan menyakiti Santi, yang akan membuat istrinya itu akan menderita selama sisa hidupnya ... mungkin.
Namun Arya harus memutuskan sebuah pilihan karena ia ingin hidup bahagia, menghapus karakter angsa yang selama ini melekat padanya.
"Lihatlah aku, Pa. Lihat anakmu ini! Aku saja tersiksa melihat Mama selalu menangis. Semakin hari keadaan Mama semakin tak karuan. Mama sering mabuk, Pa. Apa papa tak ada hati sedikitpun lagi untuk mama?" Alveno menyeka hidungnya yang basah. Bibirnya yang biasanya merekah semerah buah tomat, kini pun beralih hanya membentuk sebuah garis lurus, seolah untuk menarik sudut bibirnya membentuk sebuah senyum kecil adalah sebuah hal yang amat sangat menyiksa.
"Papa tak bisa, Al. Papa sudah memilih yang lain. Kamu tahu itu." Lelaki pemilik bola mata bulat dengan bulu mata indah itu memejamkan mata. Seolah menahan segala perasaan yang berkecamuk dalam dadanya. Alveno anaknya sebenarnya tak perlu tahu akan hal ini, masih terlalu dini baginya untuk mengetahui betapa kadang dunia itu begitu kejam.
"Kenapa, Pa? Kenapa papa sangat tega melakukannya? Apakah papa belum cukup untuk menyiksa mama seperti itu? Katakan, Pa!" Alveno berkata gusar, kali ini tangannya terulur dan mengenggam jemari Arya. "Aku mohon, demi aku, Pa." Airmatanya luruh jatuh ke pipi.
Arya diam tak bergeming. Tetesan-tetesan bening pun membasahi pipi berjambang lelaki itu. "Alveno ...." Beberapa detik Arya memberi jarak untuk berkata. "Kamu tidak tahu bagaimana sulitnya kami melewati 15 tahun ini, Nak. Semua sudah kami lakukan dan upayakan agar pernikahan ini berjalan seperti yang diharapkan setiap pasangan suami istri. Tapi mamamu tak bisa memberikan apa yang papa idam-idamkan sebagai seorang lelaki dan sebagai seorang suami. Kami berusaha dengan berbagai cara agar pernikahan ini bisa kembali normal seperti saat tahun-tahun pertama pernikahan kami. Tapi hasilnya nihil. Sepertinya hanya jalan buntu yang kita temukan."
Arya menarik napas dalam lalu menoleh dan mendapati anaknya yang masih memakai seragam merah putih sedang menyorotnya, dengan seulas senyum getir timbul di bibir.
Alveno bangkit dari duduknya, menatap jalanan dari balkon kamarnya. "Apa sudah tak ada lagi kebahagiaan di rumah ini sehingga papa harus pergi dengan yang lain? Lalu bagaimana dengan aku, Pa? Apa papa tidak pernah memikirkan aku? Apa papa sudah menganggap aku ini tidak pernah ada?"
"Kamu tetap ada di hati papa, sampai kapan pun itu. Tapi papa juga ingin bahagia, Nak." Ada senyum yang teeulas amat tipis di sudut bibir Arya.
Alveno menghela napas kasar saat mendapati jawaban dari papanya. Bukan itu yang ia mau, dia ingin kedua orangtuanya bahagia bukan hanya satu sisi saja. Dan Alveno tak akan menerima begitu saja jika papanya akan benar-benar meninggalkan mamanya dan berpaling pada wanita lain. Sungguh ini kenyataan yang sangat menyakitkan untuk dihadapi.
"Papa tak pernah memikirkan perasaan kami! Papa terlalu egois! Papa hanya mementingkan kesenangan papa saja! Apa papa tak pernah memikirkan betapa sakit hati mama saat dia tahu kalau papa bersama wanita lain?" Alveno mengusap pipinya yang basah pelan. "Aku saja tak percaya dengan apa yang aku dengar dari mama. Tega-teganya papa berbuat seperti itu!"
"Kamu tak pernah tahu dengan apa yang sudah terjadi. Jangan pernah menggurui papa! Papa tahu dengan apa yang sudah papa lakukan!"
"Dengan menyakiti hati mama dan meninggalkan kami di sini, begitu? Dan papa akan bahagia untuk selamanya? Jawab, Pa!" Alveno meninggikan nada suaranya
"Jangan pernah membentak papamu, Alveno! Keputusan papa sudah bulat. Cepat atau lambat kami akan mengakhiri hubungan ini! Itu jalan terbaik untuk kami berdua .... CERAI!"
Alveno terhuyung saat mendengar kata itu. Bagai ada sebuah palu yang menghantam kepalanya, bumi seakan terbalik dan berguncang hebat. Anak lelaki itu gemetar menahan tangis. Apa ini adalah akhir dari segalanya? Akhir dari tangis mamanya yang selalu mengisi hari-hari belakangan ini? Akhir dari harapan hatinya agar semua tetap berjalan baik-baik saja? Alveno bersandar pada tembok sambil tersedu menatap sendu Arya.
"Jangan Pa, jangan! Alveno mohon sama papa! Kembalilah pada kami, kami ingin papa tetap bersama kami!"
"Maaf nak, kali ini papa nggak bisa."
"Papa egois! Terlalu egois!" cicit Alveno yang suaranya mulai serak.
"Egois kata kamu? Lalu bagaimana dengan mamamu? Bertahun-tahun papa menginginkan seorang anak darinya, tapi apa yang mamamu berikan? Tidak ada!"
"Apa maksud papa? Lalu anak siapa aku?" Alveno membelalakkan mata tak percaya dengan apa yang ia dengar barusan.
"Kamu bukan anak kandung kami!"
🥀
"Bang Udin ... bang Udin!" suara centil mbok Ina lagi-lagi mengusik gendang telinga pak Udin yang sedang menyaingi rumput di lapangan belakang sekolah.
"Ada apa lagi, mbok? Kayaknya nggak pernah bosen ya gangguin orang yang lagi bekerja." Pak Udin mendengus kesal sambil terus mengarahkan sabitnya pada rumput-rumput yang tumbuh liar di pinngir lapangan.
"Ya ampun jutek banget ah si abang, belom dikasih ya di rumah?" Mbok Ina cengegesan sambil memilin-milin rambut panjangnya yang baru dua hari yang lalu ia extension.
Bang Udin tak memjawab, lelaki itu masih meneruskan pekerjaannya. Sinar mentari sore yang menerpa, membuat badan kekar laki-laki yang berkeringat itu terlihat mengkilap kecoklatan. Mata mbok Ina makin nakal bergerilya dan berhalusinasi.
"Duh kok diem aja sih? Di sini ada Ina loh, Bang. Ina siap sedia menemani hari-hari bang Udin." Mbok Ina cekikikan lalu menggigit bibir merahnya pelan. "Gimana, bang Udin udah pikirin belom kalau abang punya yang kedua kayak Ina ini? Ina ini jagoan di dapur, pandai di sumur dan paling profi di kasur. Hayooo? Mau ya, bang!"
Pak Udin melotot tajam menatap Mbok Ina. Ia sudah kehilangan kata-kata harus menjawab apa. Seandainya ia tak mempunyai istri mungkin tawaran perempuan genit itu sudah ia iyakan sedari dulu, tapi ia adalah lelaki yang setia .... masih.
"Coba tawarin pak Suryo! Dia 'kan duda beranak lima. Pasti dia mau sama kamu, mbok Ina!"
Mbok Ina membuka mulut lebat dan merotasikan bola matanya malas.
🥀
Assalamualaikum
Komentar tentang part ini?
Jangan cuman komen "next kak" aja yaaa wkwkwk🤣
Ditunggu Voment kalian❤
Wassalam
DS. Yadi

KAMU SEDANG MEMBACA
Ratap (TAMAT)
Romansa"Bunda kan udah bilang, makan makanan yang ada di kolong meja, bukan di atas meja!" Ini kisah anak-anak malang yang memperjuangkan hidup dan kebahagiaan. Tentang bakti seorang anak pada orangtua, tentang persahabatan, dan tentang cinta. Alya Aqwaa V...