"Ya Allah ya Rabbi, apa yang sebenarnya ada dalam otak Bundamu itu?"
Mbok Mira memeluk erat Alya yang menangis dalam dekapannya. Wanita tengah baya itu tak habis pikir dengan apa yang sudah dilakukan Fani terhadap anak-anak Bono. Ada rasa marah yang tersirat di wajah perempuan itu, namun ia tak bisa berbuat apa-apa kecuali hanya berusaha menenangkan Alya yang sedari tadi menangis. Mbok Mira mengusap pelan pipi Alya.
"Kamu yang sabar dulu, ini pasti ujian dari Gusti Allah. Semuanya pasti akan berakhir. Yang sabar ya, Neng Alya."
"Tapi sampai kapan, Mbok? Entah apa lagi yang akan dilakukan oleh Bunda pada kami." Alya terisak pelan, membayangkan harus bekerja di jalanan kota Jakarta yang keras. Membayangkan saja ia sudah bergidik ngeri apalagi harus benar-benar melakukannya. Banyak kejadian-kejadian kriminal yang sudah Alya dengar dari kerasnya hidup jalanan Jakarta.
"Seandainya mbok Mira bisa membawa pergi kalian, pasti mbok sudah lakukan untuk kalian. Tapi neng Alya lihat sendiri, mbok juga nggak punya apa-apa di sini. Hanya kalianlah keluarga mbok satu-satunya. Ya Tuhan ... tolonglah kami. Tumjukkan jalan terangmu pada Fani. Sadarkanlah dia kalau selama ini dia sudah berbuat salah."
Mbok Mira mencium pucuk kepala Alya, benar-benar tak ingin meninggalkan dua anak yang sudah lama diasuhnya itu. Tapi Mbok Mira harus segera pergi kalau tak mau ketahuan oleh Fani. Mbok Mira selalu berusaha menyempatkan menjenguk Alya dan Alma jika ada kesempatan, terutama saat siang hari, dimana Fani sedang tidur siang.
Setelah kepergian Mbok Mira, Alya masih mematung di dalam kamar. Ia tak tahu harus berbuat apa. Alya tak menyadari ada sebuah gaun putih dan sebuah selendang tergeletak di atas ranjang tidurnya. Diraihnya gaun itu. Gaun yang pas dengan ukuran badannya namun terlihat lusuh dan sedikit kotor. Ada beberapa bercak kecoklatan menempel di gaun putih itu. Dan selendang itu, selendang dengan motif batik milik Mbok Mira yang sepertinya Mbok Mira lupa membawanya.
"Dipakai sekarang, Alya!"
Suara Fani yang terdengar tiba-tiba mengagetkan Alya. Gadis kecil itu menunduk dalam dan bergeming. Airmatanya kembali menetes.
"Ayo buruan dipakai!" titah Fani menaikkan nada suaranya.
Dengan tangan gemetar Alya mengganti baju seragamnya dengan gaun putih sebatas lutut itu. Lalu Alya menatap lekat pantulan bayang dirinya di cermin. Wajah itu terlihat begitu lemah, tak bernyawa, tanpa jiwa ... begitu kosong. Alya meringis getir. Beban yang harus dipikulnya begitu berat. Kejadian demi kejadian yang terjadi belakangan ini menguras tenaganya. Alya ingin menyerah tapi ia masih ingat kalau ia masih punya Alma, adiknya yang masih membutuhkan kehadirannya.
"Ibu sayang kamu."
Entah dari mana tiba-tiba Kirana sudah ada disamping Alya dan berbisik pelan. Perempuan itu mengulas senyum. Alya menatap lekat Kirana lewat pantulan bayangan di cermin.
"Ibu!" Serta merta Alya memeluk Kirana, sangat erat dan rasanya tak mau dilepas lagi. Gadis itu menangis, sesenggukan di pundak Kirana.
"Semuanya akan segera berakhir, sayang."
"Jangan tinggalin Alya lagi, Ibu. Alya ikut sama Ibu!" Tangis Alya pecah tak tertahan. Rasa rindu terhadap ibunya begitu besar. Tubuh Alya bergetar menahan isak tangis.
"ALYA! KE SINI KAMU!" teriak Fani tak sabar sambil memandang tajam Alya yang masih mematung sambil menangis di depan cermin.
"SINI!"
Fani mencekal tangan Alya lalu menyeret paksa gadis kecil itu. Alya hanya sesenggukan menahan tangis sambil mengikuti kemana Fani melangkah. Setelah tiba di depan halaman rumah, Fani melepas cengkaraman tangannya. Lalu perempuan itu mengambil segumpal tanah dan berjalan mendekati Alya. Sambil meringis senang Fani meraupkan tanah itu ke wajah Alya dan mengusap-usapkan sisanya pada gaun putih lusuh Alya.
"Sekarang kamu benar-benar mirip seperti pengemis dan anak-anak gelandangan." Fani mengulas senyum penuh keculasan dan merasa puas. Setelah ini akan ada pemasukan uang lagi meski tak sebanyak seperti apa yang dihasilkan Bono. Tapi setidaknya ia tak perlu bekerja, begitu pikir perempuan jahat ini.
"Sekarang kamu sudah bisa mulai bekerja. Dan ingat, jangan pulang kalau tidak membawa hasil yang cukup! Mengerti?"
🥀
Alya dengan gontai melangkahkan kaki. Senja sudah turun. Sinar keemasan sang mentari menyapu wajah lusuh gadis kecil itu. Sudah hampir dua jamnia berkeliling dan mengemis tapi ia belum mendapatkan uang sepeserpun. Gadis itu menghentikan langkahnya, lalu beristirahat sejenak di pinggir jalan di sebuah emperan toko yang sudah tutup.
Alya mengelap dahinya yang berkeringat. Capek dan lapar yang ia rasa. Cacing-cacing dalam perutnya sepertinya sudah meronta-ronta ingin diberi makan. Tapi Alya tak punya uang sedikitpun. Ia hanya mampu meneguk ludahnya kasar.
Lalu Alya bangkit dan berjalan lagi dengan pikiran yang kosong. Kendaraan berjubel di jalan. Bising dengan hiruk pikuk mobil dan sepeda motor pada jam pulang kantor seperti ini. Alya terus melangkah diantara keramaian itu.
Dari jauh nampak seorang gadis kecil seumuran Alma bersama ibunya yang memakai hijab menatap ke arah Alya, lalu mereka mendekat. Gadis kecil berhenti tepat dihadapan Alya lalu menyodorkan uang sebesar sepuluh ribu dengan sebuah senyuman.
"Terima kasih," ucap Alya pelan sambil menunduk dalam. Gadis kecil itu tersenyum lagi lalu menoleh pada ibunya. Sang ibu membalas dengan sebuah senyuman.
"Ayo Amira, Papa sudah menunggu di mobil," ucap perempuan cantik berhijab itu mengajak putrinya. Lalu mereka berlalu. Alya menatap bahu mereka dari belakang sambil menarik sebuah senyum, membayangkan kalau itu dirinya dan ibunya.
Alya melanjutkan lagi melangkah. Kedua kakinya terus berjalan menembus ramainya ibukota. Sekali-kali ia berhenti di lampu merah dan mengemis di sana. Namun hasilnya masih nihil. Ia belum bisa mendapatkan apa-apa selain pemberian dari gadis kecil itu.
Mungkin saja nasibnya hari ini sedang sial saja, hibur Alya dalam hati. Ia harus mendapatkan uang lebih banyak kalau ia mau tidur nyenyak malam ini. Bundanya pasti akan marah besar kalau ia hanya mendapat hasil yang sedikit, bahkan mungkin ia bisa mendapatkan perlakuan kasar seperti yang sudah-sudah. Alya tak menginginkan hal itu terjadi lagi padanya. Ia bertekad untuk mendapatkan uang lebih banyak. Ia harus mencari cara untuk lebih banyak mendapatkan simpati pada orang-orang yang ada di sekitarnya saat ini. Ketika Alya sedang berpikir untuk menemukan cara agar ia bisa mendapatkan simpati orang, tiba-tiba dari jauh nampak seorang gadis kecil berlari mendekat ke arahnya.
"Kak Alya! Kak!"
Alya menoleh, mencari sumber suara yang memanggilnya itu. Gadis itu tersenyum lebar saat mengetahui siapa yang ada dihadapannya sekarang.
"Aisyah!"
🥀
Assalamualaikum
Lebaran 2 hari lagiii😜🤩😍
Semangat puasanya ya 😊Sebentar lagi cerita RATAP bakalan end ini, kira-kira kamu pengen aku bikin cerita apalagi? Komen yaa
Jgn lupa jejaknya gaes
Wassalam
DS. Yadi

YOU ARE READING
Ratap (TAMAT)
Romance"Bunda kan udah bilang, makan makanan yang ada di kolong meja, bukan di atas meja!" Ini kisah anak-anak malang yang memperjuangkan hidup dan kebahagiaan. Tentang bakti seorang anak pada orangtua, tentang persahabatan, dan tentang cinta. Alya Aqwaa V...