Peserta 3

141 10 0
                                    

Hidup Baru



Jika tidak berguna, untuk apa hidup?

Pertanyaan tersebut terus berputar di kepala Max selama berdiri di atas tebing yang menghadap luasnya lautan. Ombak ganas di bawah telah menanti kedatangannya. Ditemani embusan angin yang mengantar ombak bertemu tebing, Max siap mengakhiri hidupnya dengan senyuman sendu.

Mundur beberapa langkah, dengan kemantapan hati, pemuda itu berlari sekuat tenaga dan melompat menuju lautan lepas.

Untuk terakhir kalinya, dalam kurun waktu yang hanya beberapa detik, Max menyempatkan diri membuka mata, menatap birunya lautan. Indah. Ya, setidaknya Max ingin mati di tempat yang indah ini dan bukannya membusuk di rumah sakit.

Selamat tinggal, Kak.

Begitu tubuh kurus itu tenggalam, sebuah ombak langsung menghantam dan membuatnya menubruk batu karang yang tersebar di sekitar tebing. Rasa sakit yang sudah menjadi makanan sehari-hari, membuat Max mengabaikan segala hal yang ia rasakan dan hanya menunggu kedamaian yang ia nanti-nantikan.

Namun, pada detik terakhir sebelum Max kehilangan kesadaran, bisa ia rasakan sepasang tangan merengkuhnya dalam pelukan. Membawanya menjauh dari area tebing.

Meski dadanya sudah terasa hampir meledak, Max masih bisa membuka mata. Didapatinya seraut wajah jelita yang tetap telihat tenang meskipun berada di dalam air dan masih harus membawa Max pula.

Seperti menyadari tatapan Max, sosok jelita itu menunduk. Matanya begitu jernih, memancarkan binar kesenangan luar biasa. Dan di saat terakhir, Max mendapati sosok jelita itu tersenyum indah begitu melihat Max masih hidup.

Kenapa kau menyelamatkanku?

Belum mendapatkan jawaban atas pertanyaannya, Max telah kehilangan kesadaran. Senyum dari sosok jelita pun memudar. Sedari tadi terus begerak lurus ke depan, akhirnya ia memutar haluan menuju permukaan air. Menggerakkan ekor panjang yang terlihat berkilau di air, sosok jelita itu mempererat pelukannya pada tubuh Max.

***

Bulan penuh menggantung di langit malam kelam. Memancarkan sinar redup yang cukup untuk menerangi kegelapan. Memperlihatkan air laut yang pasang hingga ke bibir pantai.

Di satu sisi pantai yang begitu sepi, tersebunyi di balik jajaran batu karang tinggi, susah payah Ariel merangkak dengan kedua tangan. Ditambah ekor panjangnya, gerakan Ariel menjadi semakin lambat.

Telihat berkilau meski tanpa bantuan sinar rembulan, ekor berwarna jingga lengkap dengan sirip lebar di sisinya, walau terlihat indah, tapi melihat panjangnya bisa dipastikan ekor tersebut bukan hal ringan. Bisa dibilang ekor Ariel sekarang adalah beban dan ia akan segera menyingkirkannya.

Begitu sampai pada sebuah gua kecil yang tidak dijamah air, Ariel membalik tubuhnya untuk duduk. Kilau jingga di bagian ekor hingga dada yang tertutup sisik sudah cukup membantu Ariel untuk melihat keadaan sekitar. Walau sebenarnya, tanpa bantuan apa pun, Ariel masih bisa melihat segalanya dengan jelas meskipun dalam kegelapan.

Melepas bungkusan kain yang melilit tubuhnya, Ariel mengeluarkan sebuah botol berisi cairan merah gelap. Memandanginya cukup lama.

Dengan meminum ramuan itu, Ariel akan berubah menjadi manusia, memiliki dua kaki dan berjalan di daratan.

Membuka tutup botol, untuk sesaat Ariel terlihat ragu. Namun, saat matanya memandang lautan, sudah sampai sejauh ini, ia tidak bisa kembali lagi begitu saja. Pengorbanan untuk mendapatkan ramuan ini pun, tak boleh disia-siakan. Menjadi manusia adalah keinginannya sendiri. Ya, satu-satunya cara untuk menemukan 'dia' adalah dengan menjadi manusia.

FUTURISTIC FEBRUARY 2021Where stories live. Discover now