Part. 8 - The first benefit

11.6K 1.6K 184
                                    

Kita malam mingguan bareng Jerome.

Jerome tidak henti-hentinya tersenyum melihat Luna yang terus merengut dan menggerutu dalam suara pelan tapi masih bisa didengar olehnya. Jujur saja, basa basi bukanlah kesukaannya, tapi dengan Luna, sepertinya basa basi yang dilakukan terasa menyenangkan.

Dia sangat tahu jika senyumannya membuat Luna semakin tidak senang, namun itu bukan disengaja. Jerome tersenyum karena rasa senang yang dirasakan saat bersama dengan Luna. Lucu, bisa dibilang cukup konyol karena Jerome seperti sudah mengenal Luna sejak lama.

“Jadi, lu terima tawaran gue karena udah capek ditanyain soal pasangan sama keluarga?” tanya Jerome kemudian.

Luna mendengus pelan, lalu menganggukkan kepala. Masih enggan melihatnya karena sibuk menunduk untuk memainkan sedotan pada minumannya. Menyingkir ke sebuah kafe yang berada di sebuah mall, keduanya melanjutkan obrolan di sana.

“Kalau misalnya keluarga lu nuntut lebih gimana?” tanya Jerome lagi, dan kali ini berhasil membuat Luna mengangkat wajah untuk menatapnya.

“Maksud lu?” tanyanya dengan kening berkerut.

Jerome hanya tertawa pelan sambil menggelengkan kepala. “Really? Lu nggak pake pikir panjang sebelum mutusin sesuatu? Umur berapa sih? 17 atau 20?”

“Kenapa jadi nanya umur?” tanya Luna ketus.

“Hanya karena lu capek ditanyain soal pasangan, lantas lu terima tawaran gue buat jadi FWB. Terus, misalkan gue datang ke rumah dan kabulin permintaan lu untuk jadi pacar bohongan biar mereka nggak nguberin soal pacar, apa lu nggak mikir soal mereka yang akan nuntut keseriusan gue?” balas Jerome.

“Seperti?” tanya Luna dengan ekspresi bingung.

“Seperti tanya kapan nikah? Atau mau dibawa kemana hubungan ini? Atau hal lainnya yang bakalan jadi poin standart orangtua kalau ketemu pacar dari anaknya,” jawab Jerome lugas.

Luna mengerang sambil menutup wajah dengan dua tangan, tampak begitu frustrasi. Terkekeh, Jerome justru menikmati pemandangan yang ada di depannya. Luna begitu ekspresif, bahkan membuat aksi yang tak terduga. Perlu diakui Jerome jika dirinya masih belum bisa membaca Luna, karena wanita itu termasuk dalam kategori tersulit.

“Lu ngomong gitu karena menolak, kan?” celetuk Luna dengan nada menuduh.

Lagi, Jerome terkekeh sambil terus menatap Luna dengan ekspresi tidak percaya. “I love playing role, Baby. Kapan pun lu butuh gue untuk maju ketemu orangtua lu, gue selalu siap.”

Mata Luna menyipit tajam. “Are you that easy?”

“I’m not easy, but I’m always ready to be your toy,” jawab Jerome senang.

Dengusan napas kasar Luna menjadi balasan, tampak semakin kesal dan itu menambah kesenangan Jerome saat ini. Meski masih ada beberapa pertemuan dengan klien, juga pesan singkat Nio yang tidak henti-hentinya menambah jumlah notifikasi dalam ponsel yang sudah diatur dalam keadaan silent, tapi itu tidak membuat Jerome perlu menyelesaikan pertemuan tanpa rencana seperti ini.

“Gini aja, gue punya usul,” putus Jerome kemudian.

Luna langsung mendelik curiga padanya. “Bukannya mau nuduh, tapi feeling gue langsung nggak enak sebelum lu ngomong.”

It’s okay, gue nggak masalah. Tiap orang perlu punya radar waspada, dan biasanya orang suka salah tangkap sinyal,” balas Jerome.

“Jadi, bener feeling gue soal lu yang bakalan nggak bener kasih usulnya?” sahut Luna.

THE ULTIMATE FUCKBOY (SUDAH TERBIT)Kde žijí příběhy. Začni objevovat