Part. 12 - Toxic and healer

10.6K 1.5K 167
                                    

Ada apa sih dengan Jerome sampai bisa menang vote kek gini? 🙃
Ciyee, update-nya diluar weekend.

Yuk, kita ngegas!


🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷


Sudah lama sekali, Jerome tidak pernah melihat wanita sampai harus sesedih itu. Menangis pilu dan seolah hilang harapan, juga tak tentu arah seperti yang Luna lakukan adalah hal yang paling tidak ingin dilihat olehnya.

Bukan hal baru bahunya jika wanita selalu menangisi hal yang tidak penting atau terkonyol sekalipun. Tapi jika menangis karena sudah tidak mampu bertahan dalam mengatasi masalah dan beban hidup, tentunya menjadi sesuatu yang mengusik dirinya.

Hal itu membuatnya teringat dengan seseorang yang masih terpuruk dan menolak untuk berdamai dengan dunia, hingga membuat mereka harus berpisah dan Jerome enggan untuk menerima kenyataan itu. Sampai sekarang.

Sejak saat itu, dia tidak menginginkan hal yang sama terjadi pada dirinya. Saat wanita sudah bergantung padanya dan rela melakukan segalanya atas nama cinta, maka Jerome akan segera berhenti dan tidak melanjutkan. Baginya, hidup adalah pertahanan dan perjuangan yang harus dilakukan oleh diri sendiri, bukan ketergantungan pada orang lain.

Kecewa, itu sudah biasa. Diperlakukan tidak adil? Heck! Jerome bahkan sudah tawar hati dan merasa semesta begitu membencinya hingga memberikan pengalaman hidup yang memuakkan. Oleh karena itu, dia memilih untuk mencari kesenangan diri lewat pribadi yang juga memiliki tujuan yang sama dengannya. Sayangnya, tidak ada yang pernah berakhir sesuai harapan. Sebaliknya, dia mendapat julukan yang membuat semua orang tidak senang dengan eksistensi seseorang seperti dirinya.

Lucunya, Jerome tidak merasa perlu tersinggung, apalagi marah. Semua orang bebas berpendapat, juga menilai, tapi tidak berarti itu mampu mengubah pendiriannya. Jika orang lain bisa sebebas itu, begitu juga dengan dirinya yang bebas berpikir dan melakukan apa saja, demikian prinsipnya.

Sudah sejam lamanya, Jerome berputar di jalur yang sama. Mungkin, sudah mencapai belasan kali untuk melewati sisi-sisi jalan itu, sambil melirik singkat pada Luna yang masih terdiam dengan tatapan ke luar jendela, demi memastikan agar wanita itu membaik.

Hari Senin adalah awal kesibukannya, terlebih lagi jika sudah mendapatkan proyek besar yang diinginkan. Ada banyak persiapan, juga diskusi, dan pertemuan yang menuntut dirinya untuk terjun dan fokus di dalam sana. Sebagai seorang yang memiliki jadwal teratur dalam melakukan apa saja, tentunya hari itu sudah terencana dengan baik. Termasuk mengantar dan menjemput Luna yang masuk dalam daftar barunya, tapi tidak dengan waktu yang sudah terbuang sia-sia dengan menemani wanita labil yang masih nyaman untuk bergeming dengan tatapan hampa.

"Lu udah sarapan?" tanya Jerome yang memutuskan untuk mengakhiri keheningan itu.

Seperti baru tersadar jika dirinya tidak sendiri, Luna segera menoleh dan menatap Jerome kaget. "Eh, lu belum makan ya? Aduh, sori, gue..."

"Gue tanya lu udah sarapan atau belum? Bukan suruh lu balik tanya seolah gue nyindir," sela Jerome ketus.

Luna berdecak pelan. "Ya udah sih, jangan judes gitu. Gue tadi udah makan dikit. Lu udah belum?"

"Belum, tapi udah ngopi," jawab Jerome.

"Mau makan? Sini, gue beliin sarapan."

Jerome tersenyum hambar sambil menggelengkan kepala bahwa Luna masih belum sepenuhnya membaik. Jika Luna sudah membaik, hal yang normal untuk dilakukannya adalah mencibir atau bahkan menyuruh Jerome untuk tidak usah basa basi tentang pertanyaan seputar sarapan, bukannya menawarkan seperti itu.

THE ULTIMATE FUCKBOY (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now