"Budayakan vote sebelum membaca dan comment setelah membaca. Happy reading."
BAGIAN LIMA PULUH DUA || SEBUAH PERMAINAN PERASAAN
•FOR(GET) THE MEMORY•
"Entah apa yang terjadi dengan emosi mereka. Semua hanya tertulis di waktu dan tempat yang sama."
~Nu_Khy~
***
Pagi buta, sebelum matahari muncul di ufuk timur dengan sepenuhnya, Ralysa sudah siap dengan Maxima di halaman istana. Berbagai alat berburu dan alat bertempur juga sudah menempel sempurna di tubuhnya.
Gadis cantik itu hendak menaiki sang kuda, namun gerakannya terhenti tatkala seseorang mendekat ke arahnya.
"Ralysa, mau ke mana kamu? Masih terlalu dini untuk berpergian ke luar istana."
Ya, orang itu tak lain dan tak bukan adalah Kakaknya.
Lelaki itu berjalan lebih dekat ke arah Ralysa. Kemudian bertanya, "Mau menemui lelaki itu lagi?"
Ralysa yang merasa dirinya ditahan untuk pergi pun bergerak turun dari sang kuda. "Kenapa Kakak selalu menahanku untuk pergi menemuinya?"
Sejurus kemudian, Kakak Ralysa memijat pelipisnya. Menggelengkan kepala. "Bukankan sudah aku katakan berulang kali-"
"Kalau Kakak tidak ingin aku terluka di kemudian hari? Kakak tak ingin aku semakin sedih karena perasaan yang akhirnya tak terbalaskan ini?" Ralysa memotong cepat perkataan sang Kakak. Kemudian melanjutkan perkataannya. "Aku ini sudah dewasa, Kak. Bahkan aku hampir 20 tahun. Aku sudah bisa menjaga diri dan perasaanku sendiri. Jadi, aku mohon, berhenti melarang dan mengatur hidupku. Dan untuk masalah sakit hati, atau apalah itu, biarlah aku merasakannya. Toh, hal itu belum terjadi dan mungkin saja takkan pernah terjadi."
Ralysa tersenyum. "Aku dan Stifan sama-sama saling mencintai. Jadi, aku yakin, kami bisa menjaga dan mempertahankan perasaan ini hingga akhir kisah kami." Kemudian menggerakkan kakinya untuk melakukan hal yang tertunda, menaiki Maxima.
"Tapi ini pesan Ayah dan Ibu sebelum dia pergi!"
Tubuh Ralysa membeku seketika. Matanya memanas dengan cepat, pun dengan hatinya. Dua kata, beragam pertanyaan yang sampai detik ini masih menjadi misteri bagi dirinya.
Kemana perginya mereka? Untuk apa mereka ke sana? Dan kenapa mereka belum kembali? Apakah harus selama ini? 7 tahun lebih?
Dengan langkah penuh emosi, Ralysa berjalan mendekati sang Kakak. Dia marah, dia kecewa, dan dia tak tau apa yang membuatnya menjadi seperti ini.
"Pesan? Kakak bilang pesan Ayah dan Ibu?" Dia bertanya dengan nada yang sungguh mengerikan. Datar. Bahkan hawa sekitar mulai berubah. Dingin, tetumbuhan layu seketika, dan awan gelap mengepul tepat di atasnya.
"Bukankah mereka hanya berpesan kepadamu? Bahkan sampai saat ini aku tidak pernah tau ke mana mereka pergi. Jadi untuk apa aku mematuhinya?"
"Astaga, Ralysa. Tahan emosimu!"
"Tahan?! Untuk apa aku menahannya? Bukankah ini yang Kakak mau? Sudah lama aku tidak menghancurkan istana ini." Kilatan matanya mulai berubah. Iris coklatnya berganti menjadi biru.
Sang Kakak mendesah, tidak ada cara lain untuk menghentikan emosinya.
Merapalkan matra, tangan lelaki itu bergerak menyentuh bahu Ralysa. Dan tepat pada saat sentuhan itu, semua hawa aneh yang muncul mulai menghilang dan tepat pada saat matahari muncul, tubuh Ralysa ambruk tak sadarkan diri.

YOU ARE READING
FOR(GET) THE MEMORY [On Going]
Fantasy"Tentang kisah yang direncanakan." Aku tidak menyangka jika diriku menjadi alasan diciptakannya sebuah permainan dunia mimpi. Sebuah permainan yang telah ada 1000 tahun lamanya. Dan di saat aku masuk ke dalamnya, di saat itulah kehidupanku berubah t...