Ariani - Rapuh

36 6 2
                                    

          Aku tergugu sendiri, di kamar yang dindingnya telah penuh dengan poster - poster boyband kesukaanku. Jiwa dan ragaku terasa letih. Apa yang harus kulakukan ? Selama setahun kami bersama, ada saja hal yang mengganggu dalam perjalanan cinta kami.

          Malam ini, sepulang kak Ida dan bang Diki yang entah dari mana, kak Ida menemuiku dan menceritakan sesuatu yang serasa meremukkan seluruh tulang yg ada di tubuhku. Katanya saat pulang tadi ia melihat Indra sedang bermain gitar di taman perkomplekan, dan di dekatnya berdiri Hana, gadis dari blok sebelah komplek kami. Aku tau gadis itu, tapi tak mengenal dekat, dan aku yakin Hana juga tau aku. Hana gadis hitam manis bertubuh tinggi, sepertinya bukan gadis genit yang dulu biasanya suka mendekati Indra.

          Aku berusaha bersikap biasa saja di depan kak Ida, dan hanya mendengarkan perkataannya, tak menjawab sepatahpun. Ketika kemudian bang Diki memanggilnya, dia segera pergi menemui suaminya itu, dan aku bergegas masuk ke kamarku.
Ya Tuhan, benarkah ? Indra yang kupercaya, mengapa sampai hati menduakanku ? Jika tidak bisa dikatakan menduakan, setidaknya aku berharap Indra tak lagi memberi peluang kepada gadis lain untuk mendekatinya.

          Indra yang kucintai, yang kupercaya, yang di tangannya kuberikan segenap hatiku, semudah itukah ia melupakan janjinya kepadaku ? Hanya beberapa hari saja kami tak bertemu atau berkirim surat, sudah secepat itu dia menjauh dari cinta kami ?
Ataukah ia telah kembali kepada kebiasaan lamanya itu, mungkin letih dengan hubungan kami yang begitu di tentang keluargaku ? Keluargaku di sini maksudnya bang Diki, istri, dan keluarga istrinya. Kemungkinan keluargaku di Jakarta belum mengetahui hubungan kami. Entah lah jika bang Diki menceritakan hal ini kepada orangtua kami dibelakangku.

          Kembali tentang Indra, sebenarnya ada rasa tak percaya dengan cerita kak Ida, namun ketidakpercayaan ini yang membuatku rapuh, merasa tak berdaya. Bagaimana caraku bertanya pada Indra, sedangkan sekarang sulit sekali bertemu Indra. Di sisi lain aku juga rasanya belum ingin bertemu Indra untuk sekedar menanyakan kebenaran cerita itu, aku tak sanggup jika ternyata Indra mengakui kebenaran itu. Yang kurasakan saat ini begitu tak menentu. Dan satu yang pasti, perasaan tak berdaya akan keadaan ini membuatku marah, dan siapa lagi yang menjadi tumpuan kemarahan kalau bukan Indra. Dan kemarahan itu lah yang membawaku pergi keesokan harinya ke rumah Eli dan bermalam disana selama beberapa hari untuk menenangkan diri, tanpa sempat pamit kepada Indra. Sebenarnya kalau pun aku sempat pamit, tak akan kulakukan. Rasa marah membelengguku, dan yang paling memenuhi ruang hatiku adalah perasaan kecewa.

          Selama setahun ini aku berusaha membuka mata dan pikiran keluargaku bahwa Indra telah berubah. Indra sang Playboy sekarang hanya mencintaiku. Kutunjukkan pada mereka bahwa hubungan kami serius, bukan seperti cintanya anak - anak yang baru saja beranjak dewasa.

          Pria paling tampan di komplek ini telah menjadi milikku dan berjanji akan setia hanya padaku. Dan memang itu yang selama ini kupercayai, meski mereka tetap meragukan cinta kami, terlebih meragukan Indra.
Selama setahun ini kutunjukkan pada mereka bahwa cinta kami benar - benar murni, jauh dari kata 'nafsu'.
Tak bisa dipungkiri, mungkin pernah terlintas dihati Indra untuk setidaknya memegang tanganku, merangkulku, ataupun menciumiku, tapi itu tidak dilakukannya. Dan itu lah yang membuatku yakin bahwa cinta Indra kepadaku benar - benar tulus.
Setahun sudah, dan sekarang....  ?!!
Bosankah ia padaku ? Jenuhkah ia pada perjalanan cinta kami yang diselimuti duri dan penolakan dari keluargaku ? Semudah itu kah ia menyerah ?

          Hati ini telah sepenuhnya kuberikan pada Indra, dan jika sekarang Indra meninggalkanku, sanggupkah aku ? Mampukah aku menyaksikan tatapan mata keluargaku yg pasti bermakna "sudah kubilang"
Tak terbayang betapa malunya aku jika hal itu benar terjadi.
Dan aku hanya bisa menangis diam - diam.

    *********

Menggenggam Ranting PatahWhere stories live. Discover now