Keheningan Itu Bernama Rindu

34 6 0
                                    

          Sudah seminggu Ariani kembali ke Jakarta, bertemu ayah dan ibunya, keluarga besarnya, dan juga teman-teman dekatnya. Ariani bahagia. Setiap hari ada saja temannya yang mengajak bertemu. Seminggu itu begitu padat dengan pertemuan. Besok akan ada wawancara kerja, dan mungkin Ariani tidak bisa sesantai hari kemarin lagi. Hari ini ia di rumah saja. Setelah mempersiapkan semua yang harus dibawa untuk esok, ia pun merebahkan tubuhnya ke kasur empuk miliknya yang sudah lama ia tinggalkan. Ariani memejamkan mata, mencoba untuk tidur dan beristirahat. Namun masih seperti beberapa hari ini, tiap kali ia memejamkan mata, benaknya selalu kembali ke tempat di mana Indra berada.

          Bayang wajah Indra selalu mengikuti, dan ia menyadari bahwa hatinya terasa kosong. Setiap kali ia tengah sendiri, di hatinya hanya ada tatapan teduh Indra, senyum manisnya, kerling mesranya, dan segalanya tentang Indra. Ariani bertanya-tanya apa yang terjadi dengan dirinya, karena semakin ia berusaha menepis, bayangan Indra malah semakin nyata. Di kamar ini dan dimana pun Ariani berada, ia hanya merasakan sebuah keheningan.
Akhirnya ia tahu keheningan itu bernama rindu.

          Ariani tak mampu lagi terpenjara dalam muara rindu. Mengabaikan rasa gengsi yang masih tersisa, perlahan ia bangkit menuju meja di kamarnya, menggapai tumpukan kertas surat dan sebuah pulpen.
Ia mulai menulis sebuah surat untuk Indra. Biarlah kali ini ia meredam ego nya. Ia tak tahan lagi. Kerinduan ini harus sampai kepada pemiliknya, walau Ariani tidak tahu apakah kerinduan Indra juga masih miliknya, karenanya dia harus menulis surat untuk Indra agar segala tanya, segala harap dan segala keinginan segera terjawab. Letih rasanya selalu dibayangi rasa penasaran.

Kukira semua akan baik-baik saja dan bisa melupakanmu hanya dalam satu kedipan mata.
Namun hati ini kosong dan hening tanpa gema.
Aku merindukanmu.

Ariani

          Kemudian Ariani melipat surat itu dan memasukkannya ke dalam amplop. Dibukanya laci dan mengambil sebuah buku kecil dimana tertera alamat Indra, kemudian disalinnya di bagian depan amplop biru itu. Besok akan ia kirimkan surat itu kepada Indra.

                              ***

          Ariani sudah memposkan surat untuk Indra tadi pagi sebelum ia menuju ke tempat wawancara.
Besok ia sudah mulai bekerja sebagai Sales Promotion Girl di sebuah
perusahaan retail. Dan kesibukan baru akan segera dimulai. Ia tidak tahu apakah  Indra akan membalas  suratnya, dan kalaupun Indra mengabaikan suratnya, ia tidak mempunyai banyak waktu luang lagi untuk menangisi kerinduannya.
Tapi sejujurnya ada setitik harapan di hatinya bahwa Indra membalas suratnya dengan kata-kata indah dan menenangkan, seperti dulu.
Sesungguhnya Ariani merasa begitu kehilangan, begitu berat hari-hari tanpa Indra, betapa kosong jiwanya.

          Ariani bertanya-tanya bagaimana reaksi Indra saat membaca suratnya. Apakah Indra juga merasakan hal yang sama, kerinduan yang mendalam dan hasrat untuk kembali bersama ? Tiba-tiba Ariani diserang rasa takut yang amat sangat. Bagaimana jika Indra mengabaikannya ? Bukankah kepulangannya ke Jakarta dikarenakan sikap Indra yang telah berubah ? Ariani tak berani membayangkan hal yang tidak-tidak. Ia takut akan menjadi kenyataan.

"Ah, Indra. Tak dengarkah kau rintihanku setiap malam tiba ? Tak sampaikah bisikan rindu ini kepadamu ? Begitu cepatkah kau melupakanku ? Ataukah sudah ada penggantiku disana ?"

          Begitu banyak tanya yang ia lontarkan hanya menggantung di langit - langit kamarnya. Dan seiring dengan titik - titik air mata yang menggelayuti sudut matanya, Ariani pun tertidur dengan membawa hati yang begitu hampa.


********

Menggenggam Ranting PatahWhere stories live. Discover now