Jangan Lepaskan Tanganmu

33 5 0
                                    

Tadi siang, Ismet tetangga di komplek kami yang juga bekerja sambilan sebagai pengantar koran, singgah ke rumah Eli, dimana Ariani menginap. Saat itu Ariani sedang duduk sendirian, masih terpukul dengan kejadian semalam. Ternyata Ismet mengantar surat dari Indra. Setelah itu Ismet langsung pergi lagi, mau mengantar koran ke langganan katanya.
Ariani memastikan tak ada Eli maupun keluarganya yang lain sebelum ia baca surat itu.

Ri, kita harus bicara. Aku sudah yakin kak Ida akan menyampaikan hal ini kepadamu. Tapi kamu salah paham, Ri. Izinkan aku untuk meluruskan kesalahpahaman ini.

" Ciihh.. !" Ariani mendengus kesal. Apalagi yang mau dijelaskan ? Saat ini ia sedang tak ingin bicara dengan Indra. Untuk apa ? Pasti cuma mau membela diri saja, terus minta maaf, dimaafkan, lalu nanti di ulangi lagi. Belum sepenuhnya berubah ternyata, seperti penyakit kambuhan, sewaktu-waktu pasti akan kumat lagi, seperti saat ini.

Selama setahun dia begitu mempercayai Indra, percaya bahwa Indra memang sudah berubah. Percaya bahwa Indra hanya mencintainya seorang. Dengan penuh percaya diri ia yakin bahwa mereka bisa berlanjut hingga ke pernikahan, seperti keinginan Indra.
Dan sekarang apa yang terjadi ? Indra sama sekali tak menghargai pengorbanannya, betapa berat ia mempertahankan hubungan ini diantara tekanan keluarga. Tak mengerti kah Indra dengan apa yang harus Ariani hadapi setiap hari ? Bencinya Ariani dengan sikap plin plan Indra.

Malam ini untuk menghilangkan gundah, Ariani melenggang perlahan ke warung dekat rumah Eli. Ia mengambil posisi duduk dekat jendela.
Ia menyesap teh panas pesanannya secara perlahan. Malam itu habis hujan, jadi warung agak sepi. Ariani menunduk, mencoba mengusir pedih, sesekali matanya menatap kosong keluar jendela.

Namun tiba - tiba Ariani memekik kecil, ia terkejut karena ada seseorang yang berdiri persisi di depan jendela yang sedang dipandanginya.
Huuuuffftt....Ternyata itu Iwang.
Entah angin apa yang membawa pria itu kesini, tapi pasti karena disuruh Indra. Pasti.

"Ri, keluar bentar deh" kata Iwang pelan.
Ada rasa enggan sebenarnya, tapi rasa tak enak terhadap Iwang yang sudah datang jauh - jauh membuat Ariani mengikuti kemauan Iwang.
Dengan langkah malas Ariani keluar juga, dan disana, tak jauh dari warung itu, ada Indra tengah duduk di atas motor bututnya sambil memandangnya sayu.
Kontan Ariani membalikkan badannya, perasaannya masih sakit karena perbuatan Indra, namun dengan sigap Indra turun dari motornya dan menghadang langkahnya.
"Ri, tolong, lima menit saja" pinta Indra memelas.
"Tidak.!" Jawab Ariani galak
"Satu menit, Ri. Satu menit saja" mohon Indra lagi
"Besok saja" jawab Ariani dingin
"Besok aku keluar kota, Ri." Kata Indra terbata
Tanpa bertanya untuk apa dan kemana tujuan Indra, Ariani menjawab, masih dengan nada seperti sebelumnya.
"Ya sudah, nunggu pulang nanti"
"Mungkin aku tak akan kembali, Ri" kata Indra dengan menahan pedih.
"Oh...malah bagus" tukas Ariani sambil membalikkan badan dan melangkah kembali ke arah warung. Cepat Indra mengejar.
"Baik, Ri. Besok kan ? Di jam yang sama ya ? Tunggu aku, aku pasti datang" tutur Indra penuh harapan.
Ariani tak menjawab, melainkan langsung berlalu begitu saja, tanpa ada basa - basi kepada Iwang yang sejak tadi memperhatikan mereka dari jarak yang tak begitu jauh.

Esok siangnya, sepulang sekolah Ana datang menemuinya. Seperti yang sudah ia duga, Ana datang membawa surat dari Indra.
Mereka berbicara santai, dan kemudian menyinggung permasalahannya dengan Indra.
Ana bilang Hana sudah punya pacar, namanya Dimas, yang juga merupakan salah satu teman nongkrong Indra. Mereka sudah tiga tahun pacaran, jadi kata Ana tak mungkin lah Indra selingkuh dengan pacar temannya sendiri.
Ariana mencerna semua ucapan Ana.
Ia tahu tak mungkin ini cerita Ana ini atas suruhan Indra. Ana tak dekat dengan Indra. Lagipula di komplek mereka Indra termasuk cowok yang tak punya basa basi terhadap cewek - cewek tetangganya, termasuk kepada Ana. Itu lah dulu yang membuat Ana heran, koq perlakuan Indra ke Ariani berbeda.

Sambil berbicara, Ariani memutar - mutar surat dari Indra yang masih dipegangnya. Belum dibukanya.
Tapi ia sudah menimbang - nimbang, dan menyesali emosinya yang meletup - letup kemarin. Setelah Ana pulang, ia pun membuka surat itu, pelan - pelan, seolah takut surat itu terkoyak dan ada bagian yang terpenggal.

Tidakkah ilalang itu tumbuh di kedalaman hatiku......
Takkan tersayat ia tanpa menyayatku

Bukankah keyakinanku berdiri di atas kepercayaanmu......
Takkan tegar aku diantara ragu mu

Ah, binasa aku dalam goresan perih mu.....

Ariani terperangah membaca puisi Indra untuknya. Sangat menyentuh.
Ariani berulang-ulang membaca bait demi bait puisi itu. Ada rasa sakit dan kecewa yang jelas terpeta dalam puisi itu. Rasa sakit karena Ariani tak mempercayainya lagi, dan kecewa karena Ariani lebih mendengarkan omongan orang lain ketimbang kekasihnya sendiri.

"Ya Tuhan, betapa dalam aku menyakitinya"

Tanpa mengingat perjuangan mereka selama setahun ini, dengan mudahnya Ariani ingin melepas cinta mereka. Tapi tidak. Sesungguhnya bagi Ariani pun bukan hal yang mudah untuk meninggalkan Indra. Baginya, Indra adalah tumpuan hidup, tempat dimana ia selalu ingin pulang. Di telaga matanya yang teduh, Ariani seolah ingin berenang disana selamanya.

Ariani terdiam beberapa saat lamanya. Akankah Indra memaafkan kesalahannya, dan seperti biasa memaklumi kemarahannya ? Ia yang kadang masih bersikap kekanakan, selalu dipayungi dengan kedewasaan Indra. Hanya Indra yang mampu menenangkannya, dia lah makna damai yang sesungguhnya.

Dan malam ini, Ariani datang ke tempat kemarin mereka bertemu. Disana sudah menunggu Indra dan Iwang. Saat Ariani tiba di depan mereka, Iwang langsung pamit dan membawa motor Indra. Ariani tak berani memandang mata Indra yang tengah menatapnya putus asa. Ariani merasa bersalah. Dan sejujurnya ia takut dengan apa yang ingin Indra katakan. Ia takut Indra menyerah dan mengakhiri hubungan ini. Sungguh, ini ketakutan terbesar yang pernah Ariani rasakan sepanjang hidupnya.

Baru saja Indra akan mengatakan sesuatu, ada sebuah sepeda motor yang melaju dengan tenang ke arah mereka, dan berhenti tepat di samping Indra.
Ariani tak kenal si pengendara motor itu, tapi dari jok belakang turun seorang wanita yang ia kenali sebagai Hana. Mungkin laki - laki itu Dimas, pikir Ariani.

Dan benar saja, Indra mengenalkan keduanya kepada Ariani, Dimas dan Hana. Hanya mengenalkan, tanpa berusaha menjelaskan kepada Ariani bahwa ini lah Hana, gadis yang dicemburui oleh Ariani. Ariani tersenyum tipis. Betapa malunya ia jika Indra sampai menyinggung masalah ini di depan Dimas dan Hana.

Tapi Indra memang dewasa, ia tak mau mempermalukan Ariani di depan mereka, walaupun tentu saja kedatangan mereka pasti atas permintaan Indra untuk membantu menyelesaikan kesalahpahaman ini.

Setelah berbincang sebentar, Dimas dan Hana pun pamit, ada urusan katanya.
"Malam itu saat aku sedang main gitar di taman, Hana menghampiri. Dia bertanya tentang Dimas. Sejak siang dia tak bisa menghubungi pacarnya itu. Katanya siapa tahu aku tahu keberadaan Dimas" jelas Indra tanpa diminta.

A

riani diam, menyimak kata - kata Indra.

"Ri, masih marah ?" Tanya Indra lembut.
Ariani tak menjawab. Tapi senyumnya menjawab pertanyaan Indra barusan.
"Ri, liat sini donk"
Ariani masih saja melayangkan pandang ke arah jalan. Dan dengan gerakan lucu, Indra menelengkan kepalanya ke arah jalan yang sedang ditekuri Ariani
"Emang ada wajah aku disitu ya ?"
Ariani tertawa pelan lalu mengarahkan pandangan kepada Indra.
"Terus.....kita masih lanjut kan ya, Ri ?" Tanya Indra penuh harap, tetap dengan nada menggoda.
"Bodo ah" jawab Ariani seperti kanak - kanak yang merajuk karena tidak dibelikan permen, tapi ia tersenyum, dan dihadapannya Indra tersenyum senang, tak ada lagi wajah kuyu dan tatapan putus asa yang semalam dilihatnya.
Tiba - tiba Indra teriak "Alhamdulillaaaahhh...!"

Sebelum pulang Indra berbisik di telinga Ariani
"Cepat pulang, Ri. Aku kangen"
"Dan please, jangan pernah melepaskan tanganmu dari genggamanku" katanya mesra
Itu kiasan, tapi Ariani mengerti maksudnya.

********

Menggenggam Ranting PatahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang