Laksana Daun dan Ranting

37 5 0
                                    

Selama beberapa bulan ini Ariani melewati hari sepinya tanpa seorangpun tahu. Tak ada yang tahu, dibalik senyum manisnya ada hati yang terkoyak, di antara tawanya tersimpan luka yang teramat pedih. Saat dulu ia bahagia karena masih bersama Indra, ia ingin seluruh dunia melihatnya, namun kini, saat Indra meninggalkannya, ia merasa cukup baginya meredam semua sendiri. Ia takkan sanggup melihat rasa iba di mata keluarga maupun teman - temannya, itu akan membuatnya semakin rapuh.

Dua hari yang lalu, bang Diki, kak Ida, anak sulungnya Mya yang sekarang sudah berusia lima tahun, dan si bungsu Nesya yang baru berusia tiga tahun, datang ke Jakarta. Seperti ayah, ibu dan keluarganya yang lain, Ariani menyambut kedatangan mereka dengan baik. Tak ditunjukkannya luka yang masih merah berdarah dihadapan Abang dan kakak iparnya itu. Ia berpura - pura bahagia dengan kekasih barunya. Padahal sesungguhnya dia belum memiliki pengganti Indra, dan memang ia belum bisa melupakan Indra meski laki - laki itu telah mengkhianatinya.

Arya memang laki - laki yang tengah mendekatinya saat ini, tapi Ariani masih menganggapnya teman biasa saja, meski kadang - kadang demi menghilangkan kegundahan hatinya, Ariani bersedia diajak jalan oleh Arya. Mungkin bagi Arya itu kencan, tapi tidak baginya. Bagaimana mungkin ia melupakan Indra semudah itu ? Di matanya cuma Indra yang mampu meluluhkan hatinya. Dan bisakah luka yang begitu dalam hilang hanya dalam hitungan hari, bulan, bahkan mungkin tahun ? Ariani pun tak tahu sampai kapan ia bisa mengubur kenangan akan Indra dan menyembuhkan luka yang telah ditorehkan Indra ke dadanya. Menurutnya, ia hanya perlu melewati hari - hari seperti biasa, tak ingin mencari cara agar bisa bangkit lagi. Biarlah waktu saja yang akan mengobati lukanya.

Duduk santai di ruang tamu rumahnya, berdua dengan kak Ida. Ayah dan ibu sedang duduk di kursi samping, seperti biasa jika sedang santai, Alin masih berleha - leha di kamarnya setelah mandi dan sarapan, dan Bang Diki sedang bermain dengan kedua anaknya di taman belakang.
"Ri..." Kak Ida memulai percakapan.
"Minggu lalu Indra menikah dengan Rita. Sepertinya mereka pasangan yang serasi deh " sambung kak Ida sambil menatap Ariani. Sungguh, dunia Ariani yang sebelumnya ia harapkan bisa bersinar kembali, kini runtuh, hancur berkeping - keping. Tapi Ariani masih seperti dulu, ia pandai menutupi kepedihan hatinya. Apalagi di depan kak Ida, ia tak boleh menunjukkan kesedihannya. Lihatlah pandangan mata kakak iparnya yang seolah mensyukuri kemalangannya, seolah berkata 'aku benar kan ?'
Sebaliknya Ariani berkata dengan ringan " Alhamdulillah " sambil tersenyum seperti biasa. Ariani tahu, kak Ida berusaha melongok ke dalam matanya, ingin tahu isi hatinya, tapi Ariani tidak sebodoh itu menunjukkan kerapuhannya di hadapan wanita yang seharusnya ikut merasakan kesedihannya dan membantu mengusap tangisnya, bukan bersiap - siap untuk menertawai kejatuhannya. Sebenci itu kah kak Ida padanya hanya karena dulu tak menuruti nasehatnya untuk menjauhi Indra ? Masih pantas kah ia disebut kakak ? Biarlah, Ariani pun malas untuk menceritakan hal ini kepada keluarganya. Biarlah, hanya Tuhan yang tahu.

Dan cerita tentang Indra tak habis sampai disitu. Kak Ida masih menceritakan tentang bagaimana gaya berpacaran Indra dan Rita dulu, betapa bahagianya mereka, pasangan harmonis katanya. Hmmm....mengapa dulu ia tak pernah memuji hubungan kami ? Kurang harmonis apa Ariani dan Indra saat itu ?
Ariani melihat gelagat bahwa cerita tentang Indra masih akan berlanjut, entahlah apa maksudnya. Ingin membuatnya sedih mungkin ? Wah, maaf saja. Bodoh sekali aku menunjukkan kesedihanku di depanmu, pikir Ariani.

Telpon selular dihadapan Ariani berdering. Save by the bell. Diselamatkan oleh bunyi telpon. Ariani bersyukur. Ia tak ingin lagi membahas tentang kebahagiaan Indra di atas kesedihannya.
Telpon dari Arya. Hari ini Minggu, mereka sedang libur bekerja.
" Ri, ke pameran buku yuk " ajak Arya diseberang sana.
Tadinya Ariani hanya ingin bermalas - malasan saja di rumah, toh semalam ia sudah malam mingguan dengan Arya, kalau bisa disebut begitu. Bukannya istilah malam mingguan itu untuk dua orang yang sedang berkencan y ?
Sebelum Ariani menolak ajakan Arya, dilihatnya pandangan ingin tahu kak Ida yang sedang duduk disebelahnya. Akhirnya Ariani segera mengiyakan ajakan Arya.
" Ok. Aku siap - siap dulu ya. " Dan setelah mereka selesai berbicara, Ariani segera bergegas ke kamarnya untuk bersiap - siap. Ia menunjukkan raut wajah bahagia di depan kakak iparnya layaknya orang yang sedang jatuh cinta. Dalam hati ia berharap agar bang Diki dan keluarganya segera pulang ke Kalimantan. Letih rasanya terus berpura - pura bahagia.

Dan harapan Ariani tercapai seminggu kemudian. Bang Diki memboyong keluarganya pulang karena izin cutinya sudah habis.
Ariani bukan tak suka jika bang Diki dan keluarganya datang ke Jakarta. Hanya saja Ariani merasa resah bertemu dengan kak ida yang selalu membicarakan tentang Indra. Lukanya yang belum sembuh kembali berdarah setiap kali kak Ida bercerita tentang betapa bahagianya Indra dan Rita. Cukup sudah. Toh masalah Indra bukan lagi urusannya.

Malam ini Ariani menumpahkan kesedihannya di atas bantal empuk miliknya. Meluap sudah air mata yang selama ini ditahannya. Ia menangis tanpa suara, hanya kedua matanya yang terlihat basah. Sudah seminggu ia menahan tangisnya semenjak mendengar pernikahan Indra. Ia menahan terus hingga dadanya terasa sesak.
Hancur sudah. Hilang sudah harapan. Selama ini ia masih berharap, suatu saat nanti Indra menyadari kesalahannya dan kembali padanya. Setitik harapan yang setidaknya membuat ia masih sanggup berdiri, kalau tidak bisa dikatakan hidup.

Saat ini hati Ariani benar - benar rapuh. Layaknya sehelai daun kering yang telah terpijak, begitulah hatinya. Hancur tiada bentuk.
Ariani menutup tirai yang mengantarai kenyataan dan harapan semu. Berakhir sudah. Entah untuk waktu berapa lama ia tak ingin ada Indra Indra yang lain dihatinya. Ariani ingin membiarkan hatinya kosong hingga ia bisa percaya lagi pada cinta, atau setidaknya sampai hatinya siap jika harus dikecewakan untuk yang ke dua kalinya atau bahkan ke tiga, ke empat dan seterusnya. Sampai ia yakin saat itu Tuhan ada dipihaknya. Bukankah Tuhan tidak akan memberi ujian diluar kemampuan kita ? Apakah ini berarti Tuhan menganggap Ariani kuat dan mampu ? Jika memang demikian, hatinya yang sudah poranda, jiwanya yang telah mati suri, masih dianggap kuat ? Hanya Tuhan yang tahu. Kini saatnya bagi Ariani untuk bangkit dan tak terpuruk terlalu lama. "Senyum lah Ariani, senyum. Untuk apa menangisi orang yang telah bahagia dan melupakanmu ? Sia - sia saja kesepian yang selama ini kau bangun. Tiada guna lagi bersembunyi di balik dinding yang bernama derita"
Yup, Ariani memutuskan untuk memulai lagi hidupnya, meski di relung hatinya masih ada cinta terdalamnya untuk Indra, masih bersemayam luka yang tercipta atas nama pengkhianatan. "Tak apa, Aku kuat. Aku bisa ! Siapa bilang hidup tak lengkap tanpa ada yang mendampingi ?"

Dan nyatanya, Ariani masih saja terpuruk. Jiwanya seperti ranting yang telah patah dan mengering, yang genggamannya pun tak mampu mengembalikan ranting itu utuh seperti semula. Ranting yang berusaha digenggamnya dengan hati - hati, tetaplah rapuh tanpa daya.

********

Menggenggam Ranting PatahWhere stories live. Discover now