Dua belas nih

1 1 0
                                    

"Seriusan?" Ney menatap satu persatu temannya dengan sorot tak percaya.

Ylona menelan savilanya sambil mengangguk. Nara melihat sekelilingnya dengan alis yang mengerut.

Laura memegang teguh pundak Zeerly. "Ini gak berlebihan emangnya?!" Tanya serius.

Zeerly tertawa melihat ekpresi teman-temannya yang baru dikenali beberapa waktu lalu. "Ini malah kurang buat semua kebaikan kalian semua." Senyum tulus terpancar dari wajah cantik Zeerly.

Princy tersenyum getir, anak ini ternyata tidak seperti yang di fikiran dia dan teman-temannya. Entah lah, ini bisa di sebut ketulusan atau suatu yang berlebihan. Tapi yang pasti niat dia baik. Zeerly sengaja membeli sebuah rumah di komplek perumahan mewah. Hanya untuk sekedar jadi tempat berkumpul, atau jadi tempat untuk pulang saat rumah utama tidak terasa seperti rumah.

"Gue gak pernah punya temen yang baik dan setulus kalian. Terlebih saat kalian tau, gue anak orang kaya. Sama sekali kalian gak mencoba buat manfaatin. Beda, sama temen gue yang dulu mereka langsung ketauan banget mau manfaatin." Mata Zeerly terlihat berkaca-kaca.

"Semakin kaya kita, semakin susah buat nyari yang tulus dan setia" Lanjutnya dengan air mata yang terjun bebas kebawah.

Semuanya bergerak mendekat kepada Zeerly. Saling memeluk satu sama lain, dan memberi semangat lewat pelukan itu.

Mata neona menatap lekat Zeerly. "Gak boleh sedih-sedih ya" Ucapnya dengan nada yang lucu.

Zeerly tertawa sambil menyeka air matanya "Drama banget ya gue".

"Kalian ngusir rasa sepi gue selama ini. Sekarang gue bisa ngerasain arti kehidupan yang sesungguhnya." Kata-katanya benar dari hati dan ini sebuah fakta yang sedang rasakannya.

Ylona berdiri dan menatap semua temannya yang sedang duduk. "Tuhan, menakdirkan kita untuk bertemu. Dan menjadi sesuatu untuk saling melengkapi, kita di pertemukan dengan keadaan terbaik menurut takdir." Ylona membalikan badannya.

"Kita adalah doa lo yang dikabulkan Tuhan" Ylona menoleh dan tersenyum.

****

Anara cemas dan resah bahkan dia tidak bisa konsentrasi saat bekerja. Fikirannya terbang jauh melayang pada Zesya, saat ini dibayang-bayang benak nya hanya sosok gadis ini.

Ini belum masuk jam istirahat bahkan baru 15 menit yang lalu nara masuk kerja. Saat ini Caffe sedang ramai, dia tidak ada celah untuk menghubungi Zesya atau temannya yang lain.

Gerak gerik cemas Anara bisa terbaca oleh rekan kerjanya. Aresenio berjalan menghampiri Anara, pundak Nara di tepuk pelan.

"Kenapa?" Tanya Arsen tampak sedikit khawatir.

Nara hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum, menandakan dia tidak apa-apa. Detik berikutnya Nara mencoba fokus saja.

Arsen menghela nafasnya, gadis ini memang suka menyembunyikan sesuatu yang sedang di hadapinya. "Zara!" Panggil Arsen "Gantiin Nara sebentar"

Nara mematung di tempat.Dia menatap marah padan Arsen, waktu kerjanya tidak boleh terganggu.

"Apaan sih!" Ucapnya tak suka dan sedikit ketus.

Arsen menarik tangan Nara kebelakang. Dan Zara sudah menggantikan posisi Nara.

Tangan Arsen di hempas kasar oleh Nara. Lalu gadis itu berjalan kembali kedepan, untuk kerja lagi.

"Nara kalo lagi kepikiran sesuatu gak usah dipaksa!" Peringat Arsen.

"Tapi-

"Mau dianter buat nemuin siapa?" Tanya Arsen.

About Eight TracesWhere stories live. Discover now