TUJUH BELAS

420 101 1
                                    

“Lita, ini udah lebih dari keterlaluan.” Mary meraih shower dan menyetelnya pada suhu suam-suam kuku.

Lita terduduk lemah di lantai ruang bilas. Setelah berhasil menghubungi Mary yang untungnya masih ada di sekolah, karena ada kegiatan dari klub baca, secepat kilat Mary menghampiri Lita. Ekspresi datar Mary berubah pias saat melihat kondisi Lita terikat di toilet, mata tertutup dan darah di sekitar tangan kanannya. Mary harus menahan sumpah serapah yang sudah ada di ujung bibirnya pada siapa pun yang sudah berbuat hal kriminal itu pada Lita.

Mary melepas semua ikatan Lita dan buru-buru membawanya ke ruang loker kelas 10, itu pun harus diam-diam, karena Lita tidak mau bikin heboh apalagi kalau sampai kepergok Daffa, atau Kay, Seran, Advin atau Fiksa.

“Ini kriminal, Lita,” ujar Mary geram, namun tangannya meraih tangan Lita dan makian kasarnya sudah tidak bisa ditahan lagi. “See that pysco-bitch did to you!”

Meskipun ikatan di tangan Lita tidak terlalu kencang, tapi bekasnya bisa terlihat cukup jelas dan bagian tangan kanannya yang disayat sejenis pisau atau cutter. Untung sayatannya tidak dalam.

Lita tertawa lemah. “Ternyata lo kalo lagi marah bisa kayak Lerina. Kalian harus ajarin gue ngomong dengan aksen gitu. Keren.”

“Nggak lucu.” Pelan-pelan Mary membasuh tangan Lita dengan air dari pancuran. Lita menundukkan kepalanya, menyembunyikan rasa perih yang menusuk saat air itu mengalir ke luka sayatannya.

“Harus ke klinik. Aku nggak ngerti ngobatin luka serius gini.”

“Nggak!” tolak Lita tegas.

Ke klinik sama saja cari mati baginya, ia takut kalau jam segini masih ada Seran yang suka kontrol klinik sekolah.

“Plis, plis, gue nggak mau ke klinik. Lo cukup kasih luka gue ini betadin, kasih kasa atau sejenis perban, udah kelar.” Lita memberi solusi.

Mary masih diam memandanginya, Lita jadi takut Mary bakal nekat dan maksa menyeretnya ke klinik.

“Plis, Mar, lo tau dan ngerti 'kan kenapa gue nggak mau ketauan siapa-siapa?”

No, I don’t understand.”

Setelah mengatakan itu Lita sudah yakin kalau ia akan langsung menyeretnya ke klinik, namun ternyata Mary membuka loker dan mengeluarkan kotak P3K kecil dari sana.

“Mar, lo harus ikut eskul PMR bareng gue.” Lita lagi-lagi tertawa ditengah kepayahannya menahan sakit. Mary hanya diam dan menangani luka Lita sebisanya

*

I’LL BURN ALL THOSE BITCHES TO HELL!”

Lita menutup kupingnya, mendengar Lerina teriak-teriak seperti itu dalam kelas. Untung baru beberapa orang yang datang, jadi tidak terlalu menarik perhatian.

“Lerina, elo beneran harus berhenti nonton series barat deh. Ngomong lo kasar banget.”

“Nggak usah ngajak bercanda! Apa yang ada di tangan lo keliatan kayak bercanda, hah?” Lerina menggulung paksa lengan panjang seragam yang dikenakan Lita, ada perban disana menutup sayatan yang panjangnya sekitar lima sentimeter.

Lita buru-buru menurunkan gulungan lengan seragamnya lagi dan protes ke Mary. “Elo mestinya jangan bilang Lerina dulu.”

Mary bersikap seolah tidak mendengar protes Lita. Ia menyibukan diri dengan buku di tangannya.

“Mending sekarang kamu ke guru piket. Ijin karena kamu pakai seragam yang seharusnya nggak dipakai hari ini,” kata Mary dari balik bukunya.

Benar juga kata Mary, Lita harus ke guru piket sebelum bel berbunyi. Ini adalah hari Jumat dan semua siswa Garuda Bangsa memakai seragam berbeda dari empat hari sebelumnya. Kalau dari hari Senin sampai Kamis untuk laki-laki memakai jas berwarna abu-abu dipadu yang senada dengan celana panjangnya, serta dasi berwarna merah lengkap sama pin lambang sekolah. Untuk perempuan, dibalik blazer abu-abunya memakai seragam lengan panjang putih, rok selutut warna senada dengan blazernya dan dasi persis murid laki-laki.

Khusus hari Jumat, semua murid memakai seragam yang hampir sama. Kemeja putih pendek lengkap dengan dasi dan dibalut vest berwarna cokelat susu. Serta celana panjang motif kotak-kotak perpaduan warna biru tua dan abu-abu untuk murid laki-laki dan rok panjang rempel bermotif sama untuk murid perempuan.

Dan hari Jumat ini, Lita terpaksa harus memakai seragam putih lengan panjang agar luka dan perban di tangan tidak terlihat. Bahkan, mama papanya tidak ada yang tahu soal ini.

“Siapa yang mau nemenin?” Lita menatap kedua sahabatnya yang super duper care, meskipun kalo kumat ngamuknya bakal ngomong kasar dengan Bahasa Inggris.

Mary menenggelamkan diri pada buku yang dibacanya dan Lerina langsung jawab ketus. “No!”

“Nggak ada yang mau nemenin ke guru piket nih?” Baik Mary maupun Lerina cuek.

“Yaudah deh, gue sendiri.” Lita berjalan lesu dan melas.

“Manja.” Lerina bangkit dari kursinya dan berjalan mendahului Lita. Lita langsung nyengir dari belakang. Akting melasnya berhasil.

*

Lima menit lagi bel tanda pelajaran pertama akan segera berbunyi, urusan Lita sama guru piket baru saja selesai. Guru piket percaya ketika Lita bilang kalau seragam kemeja pendeknya terbang terbawa angin saat sedang dijemur. Alasan yang bagi Lerina asal banget, tapi dasar Lita pintar memasang muka melas, jadi guru piket meloloskan dirinya tanpa hukuman.

Saat Lita dan Lerina mau berbelok ke koridor kelas, beberapa langkah di depan mereka ada orang-orang yang sedang Lita hindari untuk bertatap muka sampai lukanya sembuh. Lita baru mau menarik tangan Lerina untuk berbelok ke arah lain, tapi keburu ketahuan.

“Lita, kok seragamnya aneh?” Fiksa to the point menunjuk kemeja panjang Lita.

“Yang pendek terbang pas lagi dijemur. Hehehe…”

Lerina mendelik sebal. “Oke, juara umum piala Oscar, gue duluan,” sindir Lerina langsung meninggalkan Lita.

Sindiran itu jelas mengundang kebingungan bagi Fiksa, Kay, Seran, Daffa dan Advin.

“Temen lo kenapa?” tanya Daffa.

“Biasa, PMS.”

“Oh iya, nanti pulang sekolah lo balik sama kita. Oke?” Daffa menepuk tangan kanan Lita penuh semangat.

“Ad….uh.” Lita mengerem mulutnya agar tidak mengaduh di depan lima orang ini. Tepukan Daffa pas banget di lukanya.

“Loh, kenapa?” Daffa menyadari ‘aduh’ Lita tadi.

“Nggak apa-apa, bekas jatoh beberapa hari lalu masih agak ngilu.” Lita ngeles.

“Bukannya memar lo sebelah kiri?” Kay memandang curiga.

“Kenapa harus pulang bareng, Kak?” Lita pura-pura budek sama pertanyaan Kay.

“Mau main kerumah lo. Boleh, ‘kan?” tanya Advin mengintip sedikit dari balik buku dan kacamatanya.

“Oh, boleh. Yaudah, Kak, saya ke kelas dulu ya.”

Lita melangkah cepat menuju kelasnya, namun tangan Seran menahan tangan kirinya. Refleks Lita menahan sekuat tenaga ringisan yang sedikit keceplosan keluar tadi. Seran cukup kencang memegang tangan Lita yang memang memarnya masih belum hilang.

“Ng, ada apa, Kak?” Lita bingung Seran masih memeganginya sambil menatap serius. Padahal empat cowok lainnya sudah berjalan duluan.

Seran memiringkan kepala, seperti berusaha menelaah sesuatu dari mata Lita. Beberapa detik kemudian, bel berbunyi dan Seran pun melepaskan tangannya dari lengan Lita. Tanpa berkata apapun, Seran berjalan meninggalkan Lita.

Apaan sih tadi maksudnya?

*

Ternyata alasan sebenarnya lima senior itu main kerumah Lita bukan sekedar mampir biasa. Mereka minta ijin Mama dan Papa Lita agar membolehkan Lita ikut kemping di pantai daerah Anyer.

Seran dengan wajah manis dan tutur kata sangat sopan, bilang kalau sebulan ini Lita sudah rajin belajar dan bisa meningkatkan nilai akademisnya di sekolah. Jadi, ibarat kata acara kemping di pantai itu sebagai perayaan ‘perpisahan surat teguran Lita’.

Mereka juga mengajak Erin, sayangnya Erin belum diijinkan. Kata mamanya, Erin masih terlalu kecil dan sukses bikin Erin ngambek saat itu juga.

“Barangnya segini aja?” Kim mengangkat ransel ukuran sedang milik Lita.

Kakak Kay ini pesonanya memang paling bisa bikin lutut lemas seketika, padahal pagi itu Kim hanya memakai kemeja pendek menutupi kaos putihnya dan celana jins.

“Iya itu aja bawaan aku, Mas.”

“Oke.” Kim membawa ransel Lita dan memasukkan ke bagasi mobil.

“Arcalita, lo mau dimana? Di mobil Mas Kim atau di van?” tanya Daffa.

Lita melihat mobil sedan milik Mas Kim, kemudian van besar milik Fiksa yang akan diisi oleh Fiksa tentunya bersama Daffa, Seran, dan Advin.

“Sama Mas Kim aja.”

“Wah, kayaknya di pantai nanti gue bakal dilelepin deh.” Kim terkekeh geli membukakan pintu depan mobil untuk Lita.

Setelah itu semua pun masuk mobil, termasuk Kay yang langsung duduk di kursi belakang mobil kakaknya.

Perjalanan pun dimulai!

***


Almost Paradise [COMPLETED]Where stories live. Discover now