DUA PULUH

381 77 4
                                    

Sumpah deh, tau gini bakal bolos ekskul PMR aja. Jadi nggak ketauan ada memar, nggak ketiban alat-alat bidai yang keras amit-amit itu, dan nggak didiemin plus berada di klinik sekolah yang tiba-tiba sedingin puncak gunung es.

Suasana klinik memang mencekam. Kay dan Seran saling berdiam diri dengan wajah serius. Lima belas menit tanpa ada satu patah kata pun.

“Itu ekskul basket apa ekskul tawuran? Bisa memar-memar gitu,” ucap Seran pelaaaan banget, tapi bisa bikin badan Kay tegak seketika.

“Gue diajak rapat OSIS, jadi nggak ngawasin mereka,” balas Kay tidak kalah dingin.

“Sejak kapan sih elo ngurusin OSIS?”

Wah, nada Seran ngajak berantem.

“Gue cuma diajak, katanya ada hubungannya sama basket.” Kay tidak terpancing, masih tenang.

“Terus hasil dari rapat itu?”

Tanpa menjawab pertanyaan Seran yang tidak penting, Kay menghampiri Lita yang duduk diatas ranjang, yang dari tadi melongo menyaksikan Kay dan Seran untuk sepanjang sejarah hidupnya seperti mau berantem.

“Lo kenapa bisa begini, sih?” Meskipun terlihat kesal, tapi Kay menatap Lita lembut.

“Cuma kena bola aja, Kak. Hmm, beberapa kali kenanya.” Kening Kay berlipat banyak membuat Lita harus menambahkan kalimatnya lagi.

“Ngg, kayaknya lebih dari beberapa kali. Saya juga bingung kenapa bisa jadi keliatan kayak abis dipukulin ibu tiri. Kalo kaki mungkin, karena tadi sempet ketiban alat-alat bidai, jadi keliatan parah.”

“Tuh urus anak buah lo biar nggak ceroboh jatohin barang di badan orang.”

“Dan elo juga ajarin tim lo yang bener. Bisa-bisa pas turnamen bolanya dilempar ke muka wasit semua.”

Eh? Apa-apaan ini? Kenapa Kak Kay sama Kak Seran jadi nyolot-nyolotan? Bukannya mereka sohib banget?

Lita melongo sendiri melihat ketegangan dua senior di depannya.
Kay berusaha menahan diri agar tidak membalas kata-kata Seran lagi, setelah menatap Lita sekilas ia keluar dari klinik. Tinggal Seran yang masih berdiri di posisinya semula, badannya menyandar pada dinding dengan wajah menunduk setelah Kay keluar dari ruangan barusan.

“Kita pulang sekarang.” Seran menegakkan badannya.

“Tapi kan, Kak, ini masih jadwal ekskul. Lagian saya juga masih ada jadwal paduan suara.”

Seran merogoh saku celana dan mengambil ponselnya.

“Halo, Vin? Ada satu anggota lo hari ini nggak ikut ekskul. Iya, dia siapa lagi. Nggak masalah, ‘kan? Oke sip, lagian tanpa dia justru paduan suara lo jadi bisa nyanyi dinamis.”

Lita mendelik keki, sadar kalau yang lagi diomongin Seran itu dirinya.

Emang sih suara gue nggak bagus-bagus amat, tapi kan nggak perlu ngomong jujur banget gitu.

Lita masih ngedumel dalam hati saat Seran menutup sambungan teleponnya.

“Tas lo dimana? Masih di aula?”

“Iya, Kak,” jawab Lita.
“Kak, kakak kan masih harus ngajar jadi saya pulang sendiri juga nggak apa-apa. Udah bisa jalan kok, tadi kaki saya kaget doang makanya kaku. Sekarang sih udah normal.”

Langkah Seran yang sudah sampai depan pintu terhenti dan muka seriusnya kembali menatap Lita. Lita jadi nyengir bingung dilihatin begitu, walaupun sudah biasa sih sebenarnya dilihatin sama muka seriusnya Seran.

Lagi-lagi Seran mengambil ponselnya dan terlihat menelepon seseorang.

“Fa, dimana lo? Ini arca lo harus dipulangin secepetnya dan kayaknya dia maunya balik sama lo. Apa? Oh, dia sih udah nggak apa-apa, abis tawuran nih dia. Lo liat aja sendiri deh. Klinik ya? Oke.”

Kali ini Lita yakin barusan Seran nelepon Daffa, karena nyebut-nyebut ‘arca’, secara yang suka ngeledekin pakai sebutan ‘arca’ bahkan panggilannya jadi Arcalita, ya, cuma Daffa.

“Gue tau elo nggak mau gue anterin balik, jadi sebentar lagi Daffa kesini buat anterin lo pulang.”

Setelah berkata itu Seran langsung keluar dari klinik, meninggalkan Lita yang keningnya berlipat.

*

“Lo tunggu disini. Gue ambil mobil dulu, ya.”

Lita mengangguk, Daffa pun setengah berlari menuju parkiran. Sesuai dengan kata-kata Seran sebelum keluar dari klinik tadi kalau Lita akan diantar pulang Daffa.

Lima menit setelah Seran keluar dari klinik, Daffa masuk ke klinik. Mukanya panik, membuat Lita yang lagi duduk-duduk santai terlonjak kaget, karena Daffa membuka pintu tidak beda jauh dengan mendobrak pintu.

Almost Paradise [COMPLETED]Where stories live. Discover now