DUA PULUH EMPAT

345 62 17
                                    

“Gimana keadaannya, Dok?” Kim bertanya cepat pada dokter yang baru selesai memeriksa Lita di UGD.

Dokter itu menatap Kim ragu sebelum menjawab pertanyaannya. “Dia pingsan. Apa sesuatu terjadi padanya sebelum ini?”

Kim berpikir sejenak. “Tadi pagi kepalanya terbentur tiang ring basket saat bertanding. Apa itu penyebabnya?”

“Iya, itu salah satu penyebabnya.”

“Salah satu?”

“Yang jelas anda harus menemaninya secara intens saat ini. Keadaannya sedang tidak stabil.” Dokter itu meninggalkan Kim yang masih belum mengerti maksud dari perkataannya.

Kim akan bertanya lebih jelas pada dokter itu lagi, setelah dirinya melihat keadaan Lita yang masih terbaring di ranjang UGD. Lita terbaring lemah dengan satu tangan terlihat memegang ponsel, lalu ketika melihat Kim berjalan mendekat Lita menyembunyikan ponsel itu ke balik selimut.

“Aku mau pulang, Mas Kim.”

“Nanti, ya? Tunggu kondisi kamu pulih. Aku perlu telepon orang tua kamu.”

Lita menggeleng. “Aku mau pulang sekarang.”

“Lita, kondisi kamu...”

“Aku mau pulang sekarang!”

Bentakan Lita membuat Kim kaget.
Sebelumnya tidak pernah Lita seperti ini. Lita membuang muka saat Kim berusaha menatapnya meminta penjelasan.

“Oke, aku antar kamu pulang sekarang.”

“Aku mau pulang sendiri.”

“Kamu harus tau, Lita, membiarkan kamu pulang sekarang, karena kamu memaksa. Jadi, aku harus balik memaksa kamu untuk diantar pulang. Atau aku akan telepon orang tua kamu?”

Lita terdiam. Sorot matanya penuh luka. Entah kenapa dada Kim terasa sesak, terbiasa melihat mata penuh binar bahagia itu kini tergores luka dalam yang entah apa penyebabnya.

“Aku antar kamu pulang.”

Kim membawa Lita dalam rangkulannya. Dalam hati Kim sangat ingin bertanya pada Kay apa sebenarnya yang terjadi pada Lita. Perubahan pada perempuan yang kini dalam rangkulannya hanya berselang beberapa jam setelah pertandingan basket usai.

Kim masih ingat bagaimana Lita membuat Kay kesal, karena tiba-tiba bilang tidak bisa ikut serta dalam pertanding. Atau bahkan saat Lita dengan polos mengganti seragam olahraganya dengan baju tim basket di depan mereka. Senyum dan suara riang Lita pun masih terdengar jelas di benaknya saat dirinya berhasil mencetak poin yang membuat tim basket Garuda Bangsa menang.

“Mas Kim, jangan bilang apapun sama Kak Kay soal ini. Ini nggak ada hubungannya sama Kak Kay atau yang lain. Terima kasih, Mas,” ujar Lita sebelum dirinya masuk ke dalam rumah.

*

Andai tetesan hujan di luar sana bisa menghapus semua luka dan kejadian yang merenggut kebahagiannya saat ini juga, Lita pasti sudah membuka jendela kamarnya dan berlari keluar. Membiarkan hujan deras mengguyur dirinya dan membiarkan yang dianggapnya kotor bisa bersih kembali.

Airmatanya bahkan sudah mengering sejak beberapa hari lalu. Sejak Kim mengantarnya pulang dan ia langsung berlari ke kamar. Menumpahkan semua rasa perih dan letihnya. Kejadian di mobil Alphard hitam itu membuatnya menahan histeris. Tidak boleh ada yang tahu. Itu memalukan. Menjijikkan. Dan hanya akan membuat keluarganya mengalami guncangan keras untuk kedua kalinya.

Beruntung mamanya sedang menemani papanya dinas ke luar kota. Lita dan Erin biasa ditinggal di rumah berdua. Tinggal Erin yang kebingungan akan sikap kakaknya yang mendadak membisu itu. Tiap diajak makan pun Lita hanya makan satu suap, lalu pergi ke kamarnya lagi.

Almost Paradise [COMPLETED]Where stories live. Discover now