11| khawatir

322 56 8
                                    

Teresa memandangi kedua tangannya yang penuh darah milik Carly. Tangannya gemetar. Dia sangat takut saat ini.

Saat ini mereka berempat sudah berada di rumah sakit. Carly sudah dibawa masuk kedalam ruangan UGD. Sedangkan mereka terlihat menunggu di kursi yang memanjang di depan ruangan tersebut.

Teresa memandangi wajah temannya satu-satu. Prilla terlihat sangat shok. Bibirnya bahkan pucat. Jihan juga terlihat sama. Tidak ada yang membuka mulutnya sejak kejadian tadi.

Tiba-tiba Nara bangkit dari duduknya. Dia terlihat menghampiri Prilla dan meraih tangannya.

"Ikut gue." Ucap Nara sambil membuat Prilla bangun dengan paksa. Sontak Prilla bangkit dan mengikuti kemana Nara membawanya tanpa adanya penolakan. Jihan dan Teresa juga hanya memperhatikan tanpa berbuat apa-apa.

Nara membawa Prilla ke toilet. Saat sampai disana, ia melepaskan Prilla lalu menghidupkan keran di wastafel.

Prilla tahu kalau Nara akan memarahinya karena hal tadi. Sebenarnya Prilla juga tidak tahu kenapa tiba-tiba tubuhnya tadi sangat sulit untuk ia gerakkan. Ia merasa sangat takut tadi sehingga tidak bisa berbuat apa-apa.

"N-nara..." Panggil Prilla.

Namun ucapan Nara selanjutnya malah sontak membuat Prilla terkejut.

"Lo gak papa?" Tanya Nara sambil terlihat membersihkan darah yang menempel pada tangannya. Prilla diam. Tidak menjawab pertanyaan Nara barusan.

"K-kenapa lo bawa gue kesini?" Tanya Prilla. Sejujurnya pertanyaan barusan keluar tiba-tiba dari bibirnya tanpa ia rencanakan.

Nara mematikkan keran yang tadinya menyala. Ia mengambil tisu yang disediakan disitu. Kemudian menengok ke arah Prilla.

"G-gue gak tau kenapa bisa gitu Nar, ti-tiba-tiba g-gue liat Carly udah--" belum selesai Prilla berbicara, Nara menyahut.

"No, Prill. Get some rest. Gue tau lo shok banget. Kita semua juga sama Prill. Tapi gue gak mau kejadian tadi bikin lo stress atau sampe gila. C'mon, tenangin diri lo. Gue tinggal dulu." Ucap Nara lalu pergi meninggalkan Prilla di dalam toilet sendirian.

Prilla yang sedari tadi menahan nafasnya, menghembuskannya perhalan. Ia tidak menyangka kalau Nara tidak memarahinya. Prilla menatap pantulan dirinya di kaca. Dirinya terlihat sangat berantakan saat ini. Dan akhirnya seling sepersekian detik, Prilla menumpahkan semua airmatanya.

Ia tidak bisa menahannya lagi.

***

"Prilla mana?" Tanya Jihan bertepatan dengan kembalinya Nara. Dia menanyakan hal itu karena Nara terlihat kembali tanpa Prilla.

"Toilet." Jawab Nara singkat.

Namun saat Jihan ingin bangkit lalu menyusul Prilla ke toilet, Nara menahannya.

"Biarin dia sendiri dulu." Ucap Nara. Tetapi Jihan terlihat tidak sependapat dengan Nara.

"Kenapa lo malah tinggalin dia sendiri hah?!" Seru Jihan dengan nada tinggi. Teresa yang melihat kejadian itu sontak menghampiri mereka berdua dan mencoba menenangkan Jihan.

"Dia butuh waktu sendiri." Jawab Nara dengan ekspresi sedatar mungkin.

"Lo bego Nar! Sekarang tuh dia butuh kita!" Lagi-lagi Jihan mengatakannya dengan nada yang tinggi. Nara menutup matanya rapat-rapat. Mencoba meredakan emosinya.

Sebenarnya Nara melakukan itu bukan tanpa alasan. Ia tahu jika Prilla sedari tadi mencoba untuk menahan dirinya untuk tidak menangis didepan Jihan dan Teresa. Mungkin Prilla tidak ingin membebani teman-temannya dengan tangisannya.

Percakapan mereka terhenti ketika mereka melihat seorang dokter keluar dari ruangan UGD. Mereka seketika langsung mendekat ke arah dokter tersebut. Dalam hati mereka berdoa agar keadaan Carly baik-baik saja.

"Sebelumnya boleh saya tahu apa yang terjadi pada pasien?" Tanya dokter tersebut. Namun tidak ada satupun dari mereka yang menjawab.

Akhirnya dokter tersebut kembali bersuara."Karena luka tusuk pada perut pasien, pasien kehilangan banyak darah. Kita sudah melakukan pertolongan yang terbaik kepada korban."

"Jadi kondisi temen saya gimana dok?!" Tanya Teresa tidak sabar.

"Mari kita serahkan sisanya kepada tuhan." Ucap Dokter tersebut lalu meninggalkan mereka bertiga.

"APASIH MAKSUDNYA? JADI KEADAAN CARLY GIMANA? GAK JELAS TUH DOKTER!" Seru Jihan dengan nada tinggi.

"Carly bakal baik-baik aja." Sahut Nara.

"Dari mana lo tau?! Dokternya gak bilang kalo dia baik-baik aja!" Ucap Jihan. Teresa mengusap pundak Jihan. Mencoba meredakan emosi temannya satu itu.

"Guys..." Sahutan tersebut sontak membuat mereka bertiga menengok. Prilla terlihat berjalan mendekat ke arah mereka.

"C-carly gimana?" Tanya Prilla.

"Dia baik-baik aja. Mungkin lagi butuh istirahat." Jawab Nara. Ia mencoba setenang mungkin.

Jihan berjalan kembali ke kursi tadi. Lalu duduk disitu. Diikuti oleh yang lainnya. Nara duduk di samping Jihan. Lalu mengusap pundak temannya satu itu. Hingga akhirnya, Jihan menangis. Teresa yang duduk disamping Jihan juga terlihat ikut menangis. Mungkin rasa takut akan sesuatu buruk akan terjadi yang sedaritadi mereka tahan tidak bisa lagi tertahan.

Nara diam disela isakan tangis teman-temannya. Ia benar-benar tidak bisa menangis meskipun ia ingin. Ia bahkan tidak boleh merasa takut meskipun ia merasa begitu. Ia tidak boleh terlihat lemah oleh teman-temannya. Karena harus ada satu orang yang bisa menenangkan mereka.

Dan Nara merasa, dialah yang harus melakukannya.

***
Bersambung...

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 06, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

SEMBUNYIWhere stories live. Discover now