Satu

861 94 285
                                    

"Woi."

"Sini lo."

"Balik badan woi."

"Kerjain pr mtk gue dong."

"Lo gak denger? Tuli lo?"

"Telingannya ga berfungsi dengan baik tuh."

"Iya kali ya, kasian gue, pasti Bapaknya malu punya anak kayak dia."

"Malu lah, kalau gak malu ga mungkin Bapaknya kagak ada."

Suara tawa dari semua murid yang lalu lalang terdengar, dari ujung koridor sampai lapangan basket.

Semuanya ikut tertawa bersama, menertawakan seorang anak menjulang tinggi itu yang tidak berbuat apa-apa saat dirinya menerima cacian.

"Eh lo!!" satu anak yang meminta tolong pekerjaan rumahnya mendorong dada korban perundungan itu sampai hendak terjungkal saking kuatnya.

"Tatap dong muka gue kalau gue ngomong, lo punya mata 'kan?"

Anak yang di rundung itu takut-takut mengangkat wajahnya, ia mundur dua langkah ketika si perundung nyaris menonjok wajahnya.

"Ah sial! Kenapa lo mundur?"

"Iya nih, tonjok lagi, Ar, pegangin tuh badannya si Tian."

"Bukan Tian, tapi Sean."koreksi Darrel.

Saat Arthem hendak melayangkan tinjunya. Salah seorang Guru berteriak, meneriaki nama Arthem, Raka dan Darrel.

Tidak langsung melepaskan, Arthem menarik dasi yang melingkari leher Sean sampai membuat lelaki itu terbatuk.

"Awas lo sampai cari masalah!"

"Arthem lepaskan!" teriak Guru itu.

"Kali ini lo lucky, bro." katanya sambil menepuk pipi Sean, lalu pergi diikuti dua temannya dari belakang.

"Nicolas Sean, kamu baik-baik saja?" tanya Guru itu memastikan.

Korban perundungan itu mengangguk.

"Saya boleh kembali ke kelas, Pak?"

"Tapi kamu harus ikut ke ruang pak Guntur, sekali-kali mereka harus mendapat hukuman."

Sean menggeleng. Arthem sudah memperingatkannya sebelum pergi, ia tidak ingin orang itu membencinya lebih dalam lagi. "Nggak usah, Pak. Lagian saya nggak di apa-apain mereka kok."

Bapak itu menghela napas. "kalau begitu saya harus menelepon Ibu kamu."

Sean mendongak. Ia tampak ketakutan setelah ibunya dibawa-bawa. "jangan Pak, saya nggak mau Ibu saya kepikiran."

"Tapi Sean—"

Sekali lagi Sean menggeleng. Ia tidak mau Ibunya di anggap lalai merawatnya selama ini, ia tidak mau mengecewakan ibunya karena masalah ini, biarkan masalah ini menjadi masalahnya sendiri.

Sesampainya di kelas. Ia mendapat panggilan dari Raka yang entah kenapa ada di kelas, padahal Arthem dan Darrel sedang menjalani hukuman—lari mengelilingi lapangan dari pak Ryan.

"Woi, Anak haram! "begitu Raka memanggilnya.

Seisi kelas kembali tertawa, menertawakan dirinya. Seperti biasa, tidak ada satu pun orang yang membelanya, tidak ada satu pun yang menghentikan kelakuan Raka. Di kelas ini ia merasa ditiadakan dan tidak pernah dapat keadilan.

Raka meletakkan jari telunjuknya ke bibir. "diem dulu, si anak haram mau bicara nih." infonya sedikit berteriak.

Suasana kelas seketika senyap. Mereka semua menatap Sean yang bersusah payah mengeluarkan keberanian untuk bicara.

MomWhere stories live. Discover now