Chapter 15: Pendengaran Tajam

542 67 120
                                    

"L-lo nuduh gue?" tanya Helena tidak percaya.

Bayangkan, kamu sudah susah payah membela teman kamu, lalu dia malah berbalik menyerang kamu. Apa yang kamu rasakan? Kurang lebih seperti itulah yang Helena rasakan saat ini. Tidak percaya, kesal hingga marah.

Dan ... tangan gadis itu bergetar, menahan diri agar tidak menjambak Serena.

"Gue udah bela lo, bangsat!" teriak Helena tidak dapat menahan diri lagi.

Serena terlihat takut-takut. "T-tapi lo yang paksa gue lakuin ini semua ...."

"Sialan. Beraninya lo tuduh gue!?" Helena meninggikan nada bicaranya. "Lo nggak tahu diri! Udah ditolong malah nyerang balik!"

"AKH--!" Serena memekik kesakitan ketika rambutnya dijambak gila-gilaan oleh Helena.

Amarah terpancar jelas dari bola mata hitam pekat Helena. Alisnya mengerut dalam, dan tangannya masih menarik rambut Serena sekuat tenaga. "Ini hukuman buat orang yang nggak tahu diri," ujar Helena kejam.

Sementara itu, Serena hanya bisa berteriak pasrah, menahan rasa sakit dan tidak berani menyerang balik.

Hana sedikit kaget melihat Helena menjambak temannya sendiri. Dan ketika melihat Serena hanya pasrah, mendadak Hana kasihan. Dia tidak dapat membayangkan jika hal tersebut terjadi kepadanya atau salah satu temannya.

Ela melirik Hana yang menatap kasihan ke Serena.

"Orang yang kayak gitu nggak perlu dikasihani," ujar Ela kejam. Hana menoleh, lalu menjawab. "Tapi gue mendadak kepikiran, gimana kalau seandainya kita yang ada di posisi itu. Makanya gue nggak tega ...."

Ela tertawa pelan. "Memangnya gue kurang kerjaan sampai bikin drama nyamar jadi guru buat kumpulin satu kelas? Mending gue tidur atau tulis cerita."

'Lagian, Serena memang nggak perlu dikasihani. Itu adalah keputusan dia sendiri untuk lakuin ini, jadi dia harus siap menerima konsekuensinya,' batin Ela, menatap lurus ke Serena yang saat ini menangis pasrah.   

"Udah woi," lerai Calem, merasa pusing melihat pertengkaran teman sekelasnya. "Anjir capek gue punya teman sekelas kayak gini," gerutunya.

Lyon mengangguk tanda setuju. Sedangkan Daniel justru tersadar akan hal lain. "Ini kemana si ketua kelas? Malah nggak muncul. Harusnya dilerai."    

"Anjir. Dixon nggak datang? Jangan-jangan dia tahu ini semua tipuan--"

"Itu dia baru datang," sela Calem, menunjuk ke Dixon yang kebingungan melihat aksi Helena menjambak Serena dan Serena hanya menangis keras.

"Maaf telat, ada urusan. Ini kenapa ya?" tanyanya, tetapi tidak ada jawaban. Dixon menepuk dahinya. Pasti suaranya tidak kedengaran lagi. Dia mengedarkan pandangannya, memutuskan berbicara sekali lagi dengan volume suara yang sudah ditingkatkan. Di dalam hati ia berharap suaranya kedengaran. "Maaf, ini kenapa ya? Lagi kelahi?"

'Astaga. Suara gue nggak kedengaran lagi. Gue kena kutukan apa sih, sampai suara gue nggak bisa keras?' batin Dixon bertanya frustrasi. Ia menatap ke sekeliling dengan putus asa dan tanpa sengaja bertemu tatapan Ela. Saat itu juga, Ela membaca pikirannya dan terdiam.

"Ngomong apaan lo?" tanyanya.

Dixon menatap Ela. Di dalam hati, ia bertanya dengan bingung.  'Hah? Suara gue kedengaran?'

"Gue tanya, mereka kenapa? Kelahi?" tanya Dixon, menunjuk Helena dan Serena. Ia ragu apa harus menolong Serena, karena gadis itu juga tidak meminta pertolongan. 'Mungkin mereka lagi main kelahi-kelahian? Lebih bagus gue jangan ikut campur sebelum tahu masalahnya dengan jelas,' batin Dixon.

Thrilling Feeling [on going]Where stories live. Discover now