Chapter 45: Tempat Favorit

438 57 33
                                    

Beberapa hari belakangan ini Ferina sulit tidur. Setiap akan tidur, dia selalu merasa selimutnya seperti ditarik ke bawah. Tidak hanya itu, terkadang lampu kamarnya pun menyala-mati menyala-mati dengan sendirinya. Itu terjadi berulang-ulang hingga kualitas tidur Ferina menjadi buruk. Kantung mata gadis itu tidak dapat disembunyikan lagi. Benar-benar terlihat jelas, akibat kurang tidur beberapa hari ini.

Bahkan ketika berangkat ke sekolah, gadis itu tidak memiliki semangat sedikit pun. Dia memutuskan bahwa hari ini dia harus bertanya pada Hana, karena temannya yang satu itu bisa melihat makhluk tidak kasat mata.

Dan saat ini ...

Hana menggeleng.

Ferina sudah menceritakan hal-hal aneh yang dialaminya ke Hana kemarin malam lewat chat. Karena itu, begitu Ferina tiba, dia mengecek sekeliling temannya itu dengan hati-hati. Namun, dia tidak menemukan apapun. Hana menghela napas lega, tapi sedikit kasihan melihat Ferina yang lesu dan kantung mata hitamnya tercetak jelas.

"Bangunin gue nanti," ujar Ferina, lalu membaringkan kepalanya di atas meja.

Walaupun Ferina memejamkan mata, dia tidak langsung tidur. Melainkan gadis itu merenung sejenak.

Ada yang aneh ...

'Kalau memang itu nggak ada di sekitar gue, kenapa gue sering merasa diganggu belakangan ini?'

•••

Saat ini istirahat dan semua murid sebelas IPA tiga keluar dari kelas. Hampir tidak ada yang berani berlama-lama di kelas, apalagi setelah mereka mendengar kabar terbaru mengenai Helena dari Bu Luna beberapa hari lalu. Itu membuat beberapa murid sedikit takut menghabiskan waktu di ruang kelas beberapa hari belakangan ini.

Sama halnya dengan Tasya. Dia sekarang menghabiskan waktu istirahat bersama Serena. Jujur saja, gadis itu semakin takut berada di kelas karena beberapa alasan.

Alasan pertama, tempat duduk Tasya berada tepat di depan Helena.

Alasan kedua, Tasya selalu bareng dengan Helena di sekolah. Terlebih lagi setelah mereka berdua memutus pertemanan dengan Serena.

Alasan ketiga, hari itu ketika terjadi kecelakaan, Tasya masih sempat bertemu dengan Helena untuk yang terkahir kalinya. Bahkan mereka barengan ke kantin, walaupun ujungnya Helena pergi begitu saja.

Setelah menerima informasi dari Bu Luna, Serena berteman kembali dengan Tasya karena jujur saja, mereka berdua takut. Bagaimanapun juga selama ini mereka lah yang paling dekat dengan Helena.

Saat ini, kedua murid itu duduk di kantin berhadapan, saling menatap.

"Jangan-jangan ini kutukan dari Lauren?" tebak Serena takut-takut.

"Hush, jangan disebut lagi," ujar Tasya ikutan takut. "Katanya dia udah tenang. Harusnya dia nggak ganggu kita lagi ...." Dia mengatakan hal itu untuk membuat dirinya lebih tenang.

"Kalaupun dia nggak ganggu kita lagi, gue tetap takut .... Coba lo pikir, kita berempat dulu temanan. Pertama Lauren bunuh diri, lalu beberapa hari yang lalu Helena jadi korban tabrak lari, jangan-jangan selanjutnya--"

"Jangan ngomong aneh-aneh!" potong Tasya dengan nada agak marah. Baginya, Serena terlalu berlebihan sampai berpikiran jauh seperti itu. Dan Tasya membenci hal itu, karena dia jadi semakin takut.

Serena mendadak diam setelah mendengar nada marah dari temannya. Sementara itu, Tasya mendorong makanannya menjauh. Dia mendadak tidak lapar memikirkan hal ini. Hanya ada rasa takut yang menancap di hatinya.

Serena terlihat berusaha menahan tangis. "Iya, tapi gue takut ...."

•••

"Misi! Permisi!"

Calem yang melewati koridor kelas sepuluh menggeser beberapa murid dan berlari terburu-buru menuju tangga yang berada tepat di samping kelas sepuluh IPS empat. Cowok itu turun dengan tergesa-gesa menggunakan tangga tersebut.

Raut wajahnya terlihat panik, tetapi sebisa mungkin dikendalikan agar tetap tenang. Tidak jauh dari belakangnya, Daniel dan Andrew ikut berlari, menepikan orang-orang yang berdiri menghalangi jalan mereka.

Begitu tiba di bawah tangga, ketiga cowok itu menghela napas lega. Mereka langsung menghampiri Lyon.

"Gue dengar dari kelas sebelah, katanya lo jatuh dari tangga," ujar Calem buru-buru. "Lo punya kaki kenapa nggak dipakai yang benar sih?"

Andrew mengangguk. "Kaget gue anjir. Apalagi Lyon malas."

"Apa hubungannya?" tanya Calem, menoleh ke temannya.

Andrew hanya menjawab, "Nanti butuh bantuan dia malas ngomong."

Daniel mengangguk, setuju dengan perkataan kedua temannya.

Lyon menatap mereka heran. "Jatuh?"

Calem, Andrew, dan Daniel mengangguk.

Lyon hanya menggeleng.

"Hah?" Tiga teman Lyon menatap bingung. Mereka berpikir kembali sebelum mengecek handphone mereka.

Tadi, ketiga cowok itu mendapat pesan dari nomor asing yang memberitahukan bahwa Lyon jatuh di tangga yang berada tepat di samping kelas sepuluh IPS empat. Itu sebabnya mereka buru-buru datang ke sini.

Tapi begitu mereka sampai, Lyon mengatakan bahwa dia tidak jatuh.

Mereka memutuskan untuk mengecek kembali pesan tadi. Namun, ketiga cowok itu kompak mengerutkan kening ketika menyadari bahwa tidak ada pesan terbaru di handphone mereka.

Padahal seingat mereka, pesan itu tidak dihapus sama sekali.

"Pesan di hape gue hilang," beritahu Daniel, kemudian menatap ke teman-temannya. Namun, cowok itu mendadak terdiam ketika melihat ke samping Calem.

Andrew dan Calem yang juga kehilangan pesan tadi mengangguk. Begitu mereka mengangkat pandangan, mereka menangkap raut aneh dari Daniel. Mereka berdua akhirnya menoleh ke arah yang ditatap Daniel.

Begitu menatap ruang kosong di samping Calem, Andrew mengusap lengannya. Dia tiba-tiba merinding entah kenapa.

"Eh, Lyon ke mana?"

•••

Hari minggu itu enaknya rebahan. Malas-malasan di rumah. Apalagi Ferina memang sulit tidur belakangan ini. Jadi dia memutuskan untuk memanfaatkan hari ini supaya dia bisa malas-malasan sepanjang hari.

Di rumah yang luas ini, Ferina tinggal sendirian. Dia kemarin sempat menanyakan orangtuanya kapan mereka akan kembali ke rumah, walaupun gadis itu pun tidak yakin kapan dan apakah pesannya akan dibalas, tetapi Ferina benar-benar berharap orangtuanya pulang secepatnya.

Ferina tidak yakin apakah gangguan yang dialaminya ketika tidur belakangan ini itu memang nyata atau halusinasi. Tetapi gadis itu merasa lebih baik jika dia tidak sendirian. Ini semacam feeling. Rasanya akan lebih aman jika ada orang lain di sekitarnya.

Walaupun Ferina sudah lama tinggal sendirian di rumah sebesar ini, tetap saja dia masih sedikit takut. Terlebih lagi rumahnya besar dan dia sering mendengar cerita kalau rumah besar itu biasanya angker, apalagi kalau penghuninya sedikit.

Dan di sini, Ferina hanya tinggal sendirian. Banyak ruangan tidak terpakai di rumahnya yang justru menambah kesan angker. Ferina hanya bisa menghela napas panjang dan berusaha mengabaikan hal-hal aneh yang terjadi padanya belakangan ini, walaupun sangat sulit karena ujungnya pun dia akan tetap kepikiran.

Selama ini Ferina hanya berusaha membiasakan diri tinggal di rumah orangtuanya sendirian. Dia bukan tipe gadis pemberani, bukan juga yang sampai benar-benar penakut. Hanya ... sedikit penakut. Ya, sedikit ...

Biasanya kalau pulang dari sekolah, Ferina pasti langsung ke kamar. Kebanyakan waktunya dia habiskan di kamar karena dia merasa lebih aman berada di dalam satu ruangan itu ketimbang di ruang tamu yang sangat luas dan kalau dia menoleh sedikit saja, pasti akan terlihat ruangan lainnya. Kalau sudah begitu, yang ada Ferina semakin ketakutan dan berpikir macam-macam. Jangan-jangan ada makhluk tidak kasat mata di ruangan sebelah? Itu sebabnya kamar menjadi tempat favoritnya.

Thrilling Feeling [on going]Where stories live. Discover now