Chapter 37: Cerita Violet (1)

354 47 29
                                    

Puluhan tahun yang lalu ...

Violet yang tidak lama lagi akan segera berulangtahun yang ke delapan, diam-diam keluar dari rumahnya lagi. Dia ingin menemui teman akrabnya. Gadis itu segera berlari menuju supermarket terdekat, tepatnya supermarket ZZ, dimana itu merupakan tempat dia dan temannya biasa bertemu.

Jangan heran mengapa mereka bertemu di supermarket. Alasannya tentu saja karena teman akrabnya adalah anak dari pemilik supermarket. Jadi, dia sering menghabiskan waktu di sana bersama temannya. Awal mereka bertemu pun karena Violet sering membeli barang di sana dan tanpa sengaja bertemu Gofar. Setelah itu mereka berkenalan dan menjadi teman akrab.

Violet selalu pergi diam-diam setiap ke supermarket. Bukan karena takut tidak diizinkan, melainkan karena gadis itu sadar. Jika dia meminta izin, yang ada dia hanya akan mengganggu orangtuanya. Ya ... orangtuanya memang sibuk. Namun, tidak sampai sesibuk itu sebenarnya. Hanya saja ... mereka memang sengaja menghabiskan waktu dengan pekerjaan karena tidak ingin mengurus Violet.

Dari umur lima tahun Violet sudah terbiasa berkeliaran main di luar tanpa izin orangtua. Karena setiap gadis itu meminta izin, orangtuanya hanya melambaikan tangan dengan tak acuh sambil menyuruhnya pergi secepat mungkin.

Awalnya Violet tidak mengerti mengapa orangtuanya sendiri terkesan menjauhi dirinya. Sampai hari dimana ulangtahunnya yang ke delapan tiba, dia tanpa sengaja mengetahui sebuah fakta.

"Setelah kita bercerai nanti, dimana kita akan menitipkan Violet?" tanya ibu Violet, terdengar serius.

Ayah Violet hanya memberi jawaban santai. Pria itu sudah menyiapkan rencana. "Kita bunuh saja dia."

"A...apa?" Ibu Violet terdiam. "Apa kamu gila? Tidak harus sampai membunuhnya juga. Setidaknya dia adalah anak kita. Telantarkan saja dia di jalanan. Jangan sampai membunuh anak sen--"

"Bukankah sama saja?" Ayah Violet mengangkat sebelah alisnya. "Mau kita telantarkan atau bunuh ya sama saja. Kalau kita telantarkan dan dia tidak menemukan seseorang yang dapat memberikannya kehidupan yang layak, atau dia tidak bisa mencari uang, dia akan mati." Pria itu menambahkan. "Selain itu, zaman sekarang coba kamu pikirkan. Memangnya masih ada orang yang akan membantu orang asing begitu saja? Hanya orang bodoh yang mau merepotkan dirinya sendiri untuk orang asing."

Ibu Violet menggeleng beberapa kali. "Kamu tidak berubah. Selalu kejam sejak dulu." Kemudian, wanita itu tiba-tiba tertawa pelan. "Tapi baiklah. Aku setuju dengan rencana mu. Siapa yang akan menyewa pembunuh?"

"Semua sudah ku persiapkan," beritahu ayah Violet.

Setelahnya, kedua orang tua itu tertawa kencang. Violet yang berdiri, mendengar dari balik pintu berusaha menguatkan diri. Gadis itu mengepalkan tangannya erat.

"Apa salah aku? Kenapa orangtuaku sendiri ingin ... membunuhku?"

"Bagus sekali. Berarti tinggal bunuh saja, kan?" tanya ibu Violet santai.

Ayah Violet mengangguk. "Tunggu dia pulang. Anak itu suka sekali berkeliaran entah ke mana. Setelah dia pulang, langsung bunuh saja. Kita tidak boleh membiarkan anak perempuan sebagai anak sulung di keluarga ini."

Ibu Violet mengangguk. "Iya, aku mengerti. Kamu sudah pernah menceritakannya. Mereka akan membawa sial, kan?"

"Tepat sekali. Sebenarnya membiarkan dia hidup selama delapan tahun adalah bentuk toleransi terbesar. Tapi aku tidak bisa membiarkannya hidup lebih lama lagi. Memang, saat ini dia belum menunjukkan tanda-tanda pembawa sial. Tapi itu pasti akan sesegera mungkin."

"Iya. Lebih baik bertindak secepat mungkin. Jangan membuang waktu lebih lama lagi."

Violet yang sedari tadi berdiri di depan pintu, diam-diam menjauh dan keluar dari rumah. Setelah itu, dia berlari sekencang mungkin menuju supermarket. Dia perlu seseorang untuk diajak mendengarkan ceritanya ...

Tidak mungkin, kan, dia harus berdiri di sana sampai kedua orangtuanya ke luar dan membunuhnya? Lagipula, kepercayaan macam apa itu? Sangat tidak masuk akal!

Violet menggigit bibir bawahnya. "Orangtua macam apa yang menganggap anaknya sebagai pembawa sial? Itu adalah kepercayaan yang sesat." Nada bicara anak kecil itu terlihat marah. Bibirnya melengkung ke bawah dan matanya mulai berkaca-kaca. "Aku tidak akan kembali ke rumah! Aku lebih baik hidup di jalanan daripada mati di tangan orangtuaku sendiri."

Tiba di supermarket, dia langsung menaiki tangga menuju lantai dua. Ia berhenti di samping kiri tangga, dimana terdapat ruangan khusus. Itu adalah tempat pertemuannya dengan temannya, jika ada hal yang mendadak. Jika tidak terlalu penting, ia tidak akan sampai naik ke atas. Biasanya Violet akan menunggu di bawah dan temannya itu akan muncul tidak lama kemudian karena mereka sudah menentukan jam pertemuan rutin.

Begitu membuka pintu, Violet terdiam membeku.

"Gofar. Siapa itu?" tanya seorang gadis yang duduk di hadapan Gofar. Saat ini kedua anak kecil itu tengah memainkan permainan ular tangga.

"Itu temanku. Namanya Violet," beritahu Gofar, kemudian menoleh. "Violet. Duduklah di dekat kami."

Violet mengangguk pelan, lalu berjalan mendekat dan duduk di tempat yang kosong. Ia sesekali melirik ke temannya Gofar.

"Ah iya, dia Valerie, teman baruku," beritahu Gofar. Kemudian, dia menambahkan. "Baru-baru ini, dia menolongku dan kami menjadi akrab. Kedepannya dia akan sering bermain di sini."

Violet mengangguk pelan, mengerti. "Oh, oke."

Sementara itu, Valerie melirik sinis ke arah Violet. Namun, gadis yang dilirik dengan tatapan sinis itu tidak menyadarinya.

•••

Beberapa hari berlalu dan Violet tetap tidak berniat kembali ke rumah. Dia menghabiskan waktu tidur ketika malam hari di depan toko yang cukup jauh dari rumahnya, lalu disaat matahari muncul, gadis itu akan berkunjung ke supermarket. Setiap datang, Gofar dengan baik hati memberinya makanan.

Sementara itu, Valerie yang baru bergabung sebagai teman mereka sedikit tidak senang dengan Violet. Sejak pertama kali bertemu dengannya, dia dapat menilai kalau Violet berasal dari keluarga yang kaya. Tidak sepertinya yang sederhana. Itu sebabnya gadis itu itu tidak senang melihat keberadaan Violet, walaupun dia sedikit heran mengapa Violet tetap memakai baju mahal yang sama selama beberapa hari berturut-turut. Valerie diam-diam berpikir. 'Apa Violet sengaja ingin memamerkan baju mahalnya kepadaku?'

Dengan pemikiran seperti itu, Valerie semakin tidak senang dengan Violet.

Dan baru saja, Gofar pamit pulang karena ibunya datang menjemput. Akhirnya, Valerie memanfaatkan hal ini untuk memarahi Violet. Dia harus menunjukkan keberaniannya agar Violet takut padanya.

Jadi, mereka pergi ke salah satu tempat di supermarket, tepatnya di tempat yang paling ujung karena Valerie mengatakan bahwa ia ingin membicarakan hal yang sangat penting dan tidak boleh sampai diketahui oleh orang lain, selain mereka.

"Tapi, kan, ada CCTV di setiap sudut ruangan. Nggak akan aman walaupun kita bicara di tempat paling ujung," beritahu Violet, saat mereka berjalan. Valerie hanya mengabaikannya dan sekarang mereka sudah berhenti di tempat paling ujung.

"Nggak apa-apa." Hanya itu respon Valerie setelah mereka berhenti.

"Jadi, kamu mau bahas apa?" tanya Violet langsung.

Valerie sudah mempersiapkan hal ini sebelumnya. Dia maju, bertingkah seperti gadis yang hobi menindas. "Aku hanya ingin kamu sadar diri," ujarnya dengan tajam.

Tatapannya sinis, dan dia meneruskan. "Jangan pikir hanya karena kamu orang kaya, kamu bisa bertingkah seenaknya. Asal kamu tahu, aku adalah penolong Gofar. Kalau aku mau, aku bisa meminta supaya dia nggak izinin kamu datang lagi."

Sementara Valerie memainkan peran jahatnya, Violet terdiam tidak bisa berkata-kata.

'Hah? Dia kenapa sih?' batin Violet bertanya-tanya.

Thrilling Feeling [on going]Onde histórias criam vida. Descubra agora