🍒 Radio Amatir

610 88 52
                                    

Story olehku

"Kilo Echo Nano Alfa Lima Alfa Nano, Bravo Omega Lima Echo Hotel?"

"Break di copy, dengan siapa dimana?" ah rasanya sudah seperti penyiar radio sungguhan. Memainkan alat yang tersebut sebagai handy talky yang tersambung dalam komponen elektronika dimana Okta sendiri tidak tahu bagaimana caranya bekerja.

Entah mulai kapan Fiona Oktariza, gadis yang masih berseragam putih biru itu berkenalan dengan elektronik yang tersebut sebagai radio breaker. Saat dunia masih belum segempita kini atas media komunikasi. Saat radio masih menjadi sesuatu yang selalu berharga keberadaannya sebagai teman dengar dikala sendiri ataupun disela aktivitas. Saat dunia belum mengenal apa itu namanya youtube, facebook, instagram, whatsapp bahkan HP saja mungkin masih dalam sinetron yang bisa dinikmati setiap malam apa setiap minggunya bukan striping seperti saat ini.

Kerutan di mata memang menjadi pengingat bahwa usia Okta tidak lagi muda, menapak tua lebih tepatnya. Dua belas tahun berlalu dari seperempat abad yang diberikan Allah kepadanya. Bukan waktu yang singkat bukan untuk mengingatnya secara detail?

Adalah seorang Awan, Lembayung Setiawan. Laki-laki yang dikenal Okta melalui panggilan break di radio amatir yang dimiliki oleh pamannya.

"Ta, naik sepuluh ya."

"Siap Mas Awan."

"Turun seratus kemudian naik tujuh." Awan mengulang bahasa radio amatir itu untuk berbicara berdua dengan Okta.

"Mas Awan memangnya sudah kelar skripsinya?" tanya Okta ditengah percakapan mereka. Keduanya memang belum pernah bertemu namun entah mengapa saat Okta mengudara berniat untuk bercakap-cakap selalu saja bertemu dengan Awan di sana.

"Sudah selesai tinggal nunggu wisuda doang."

"Ah aku juga pengen cepat besar biar bisa disebut anak kuliahan."

"Apaan anak kuliahan, rok seragam aja masih biru begitu. Tadi di sekolah ada PR nggak? Sudah dikerjakan?"

"Eh iya ada, PR Fisika bantuin yah yah yah."

"Ya sudah diambil dulu, aku sholat seperempat jam lagi stand by disini ya?" Okta bersiap setelah Awan memintanya.

"Oke deh kakakku yang baik hati dan tidak sombong."

Bukan siswa yang bodoh, Okta bahkan selalu ikut dalam peringkat sepuluh besar setiap pembagian raport di akhir catur wulan sehingga bukan hal yang sulit juga bagi Awan berbagi ilmu dengan gadis yang telah dianggapnya adik ini.

"Mau SMA di kecamatan nanti?" tanya Awan saat mereka berbincang di radio amatir seperti biasanya. "Ujian nasional susah di depan mata loh. NEMnya harus bagus ya."

"Iya, doain juga Mas. Mau lanjutin di kota saja, biar ganti suasana dan teman-temannya juga."

"Naik motor nanti?" tanya Awan lagi.

"Mana mungkin, sepeda motor cuma satu dipake ayah. Lagian aku juga belum cukup umur untuk buat SIM. Naik angkutan umum saja."

Rasanya percakapan itu masih terngiang jelas di telinga Okta meski sudah lama berlalu. Dan benar saja, dengan hasil nilai yang diperolehnya Okta bisa melenggang menjadi siswa di SMA teladan yang ada di kota tinggalnya. Membanggakan bukan menjadi salah satu siswa di SMA favorit dengan siswa pilihan yang memiliki NEM tertinggi di kotanya.

Gadis remaja yang sedang mencari jati diri. Kesibukan Okta sebagai siswa tentu saja bertambah, selain harus menyerap semua ilmu yang diberikan di bangku sekolah dia juga harus aktif di kegiatan ekstrakurikuler, les mapel dan juga kegiatan lain yang jauh bisa menampung hobinya selama ini.

Kumpulan CerpenWhere stories live. Discover now