Prolog

3.9K 489 10
                                    

Semalam ia bermimpi aneh bertemu bebek galak yang baru lepas dari kandangnya. Binatang itu berdiri di bawah pohon trembesi, menatapnya yang kebingungan alih alih ketakutan. Lama sesudah itu, si hewan mendekatinya dan berbisik dalam suara manusia bahwa ia tak lama lagi akan datang menemuinya di dunia nyata.

Paginya.

Bebek itu benar-benar berdiri di depannya tapi dalam wujud lelaki tampan dan berbulu emas. Ia sudah berharap bakal dikenali karena banyak sekali waktu yang hilang diantara mereka, namun tidak ada. Bebek itu hanya memberikannya muka datar dan berkata bahwa ia tak suka perempuan tua yang terlihat depresi.

                                                          _____________________________*


Markas besar grup itu terlalu luas untuk dijelajahi dalam waktu tiga hari, namun baginya, tak sulit meringkas jalan dari lapangan parkir ke lapangan tempat apel pagi akan dilaksanakan beberapa menit lagi. Ia hapal semua jalan tikusnya, jenis lapangan apa, komplek asrama yang mana ataupun gedung-gedung apa yang sering kosong karena gagal untuk berfungsi. Kesatriaan ini adalah rumahnya, dahulu dan hari ini.

Ia tiba tepat waktu dan langsung menemui sekelompok kecil teman-temannya yang tengah bergosip. Ia menerkanya saja karena memang seperti itu hampir setiap pagi. Mara memaksa masuk ke dalam lingkaran, menempel pada Ainun yang tujuh tahun junior, sepuluh senti lebih tinggi.

"Maaf, maaf terlambat. Semalam daku begadang," katanya tanpa ditanya.

Ia memberi hormat kepada dua orang senior, satu orang teman seangkatan dan berhai-hai kepada tiga lagi yang lebih muda. Tidak ada yang peduli alasan Mara terlambat, gosip pagi itu terlalu panas sehingga tak perlu lagi matahari untuk mendidihkan setiap kata.

"Jadi, Si Kapten ini selingkuh, makanya di depak ke sini?" tanya Kartika, teman seperjuangannya sejak pendidikan dan sama-sama saling menguatkan biar tak gampang rapuh dari ejekan orang-orang soal status single mereka.

Kak Dewi mengibaskan tangan dan meminta Karttika untuk mendengar baik-baik. "Bukan, justru Si Kapten ini yang diselingkuhi, cuma..." beliau menekankan huruf a-nya dalam-dalam. "Karena si cewek anak Pangdam, Si Kapten yang kena sial."

Semua ber-ooh serempak, mengangguk-angguk seolah paham keseluruhan cerita tetapi terselip dugaan-dugaan lain yang berseliweran di kepala masing-masing. Mara mengira-ngira siapa yang lagi mereka bicarakan.

"Jadi, Mbak, Dantim baru kita sudah datang." Kata Ainun menjelaskan. Ia kasihan pada Mara yang dicuekin orang-orang.

"Yang diselingkuhin anak Pangdam?"

Ainun mengangguk dan memberikan jempolnya.

"Sst, itu orangnya. Subhanallah." Putri terkesiap, ia mengurut dada, membuat yang lain memutar kepala dan berbuat hal yang sama, terpesona.

Mara hanya bisa melihat dari celah tubuh Mayang dan Sari. Matanya bisa mencari dengan mudah, siapa Si Dantim baru yang baru saja digunjingkan teman-temannya itu. Terlihat tak jauh dari mereka ada Komandan Grup tengah berjalan berdampingan dengan seorang perwira muda ke arah lapangan. Lelaki itu tinggi besar, lebih tinggi dari Sang Komandan. Ia menggunakan seragam upacara yang sama dengan Mara, yang membedakannya adalah brevet kecakapan dan penghargaan yang terpasang di bajunya lebih banyak dari yang dimilikinya. Dari cara ia berjalan, Mara bisa tau kalau militer telah mengubahnya terlalu banyak, karena ia tak bisa lagi memasukkan pria itu ke dalam bingkai yang sama dengan pemuda lugu yang dulu pernah dikenalnya.

Akhirnya ia bisa melihatnya lagi dalam jarak sedekat ini. Angin membawa aroma tubuhnya dan membuat semua memori Mara tersusun mundur, kembali ke awal cerita. Mara tak pernah melupakan lelaki itu, karena itu adalah hal tersulit dalam hidupnya. Mengagumi, menyayangi lalu berubah menjadi mencintai dan ingin memiliki, tak berubah porsinya, tetaplah sama dengan waktu yang telah lama berlalu.

Tubuhnya tak lagi kurus kurang makan. Tegap dan gagah perkasa, itulah dirinya yang sekarang. Mara bisa merasakan gelegak syahwat perempuan-perempuan di sekelilingnya saat memandangi otot-otot lentur yang dilapisi kulit bewarna kecoklatan milik lelaki itu. Warna yang tak pernah bisa diasosiasikan ke visual dirinya sewaktu kecil dulu. Mara hanya bisa melihat bagian samping tubuh dan wajahnya, tapi ia sudah membayangkan sesempurna apa lelaki itu bagi dirinya. Matanya yang bewarna coklat muda keemasan, bibir tipis yang jarang tersenyum serta jari-jari tangannya yang panjang dan berkuku pendek. Rambut halus dan sedikit panjang itu sudah tak ada, dikepalanya sekarang hanya ada sejumput rambut bondol khas tentara. Bahunya tetap lebar dan kakinya masih sejenjang yang diingatnya. Tidak akan ada kata sempurna yang bisa disematkan pada diri seorang manusia, tapi bagi Mara, Damar sudah lolos syarat untuk dikatakan sempurna.

Mara mendadak pekak, pendengarannya tak dapat lagi mendengar seru-seruan di sekitarnya. Kepalanya panas dan mengeluarkan asap tiba-tiba. Mukanya matang seperti baru dikeluarkan dari dandang kukusan. Kalaulah ia tak berpegangan ke lengan Ainun, bisa dipastikan dirinya sudah terhempas ke belakang. Pingsan memalukan.

                                                      ___________________________________*

Bittersweet RomanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang