Kelima

2.5K 398 13
                                    

Mara harus ditarik paksa oleh Ainun dan Kartika dari kegilaannya berdiri di bawah guyuran hujan lalu memaksanya mengganti pakaian dan menyuruhnya berkeluntun di balik selimut. Ainun pergi dari kamar seniornya setelah memberikan segelas teh hangat ke tangan Mara.

"Manis nggak ini?" Tanya Mara.

"Kenapa?"

"Aku nggak mau manis yang tadi ketimpa manis yang lain."

"Jangan gila!" bentak Kartika.

Mara tertawa lalu menangis diantara derai gelaknya. Kartika kasihan, namun Mara harus tetap memberikannya sebuah penjelasan.

"Bukan. Kalau yang ini cerita."

Kartika mengangguk. "Sok atuh."

"Panjang."

"Nggak masalah. Aku bisa on sampai pagi."

Mara berdecak. "Keras kepala banget sih."

"Cepetan cerita!!!"

                                        _______________________________*

Semua masalah yang terjadi di dalam hidupnyapasti berkaitan dengan hujan atau paling tidak mendung hitam. Hujan tak berhenti sejak magrib masuk. Ibuk mengajaknya bicara empat mata, karena memang hanya ada mereka berdua di rumah yang mereka sewa sejak ayah meninggal dan mereka harus keluar dari asrama.

"Ibuk nak kawin lagi."

Mara membenci ibunya sejak saat kata-kata itu terlontar. Bagaimana bisa ia menikah kembali hanya lima bulan setelah ayah mereka kebumikan. Apa ia sudah tak sabar menanggalkan gelar janda yang membebani kedua bahunya itu? atau jangan-jangan, ia ingin membuang Mara dari hidupnya?

"Samo siapo?" Tanya Mara akhirnya. Ia masih beertahan. Bagaimanapun, ia sangat menyayangi ibunya. Orangtuanya tinggal satu dan Mara tak ingin hidup sendirian di dunia ini.

Kentara sekali kalau beliau gugup, seolah nama yang nanti keluar dari mulutnya bisa meletup peperangan antar benua.

"Prastowo. Baskara Prastowo."

Mara meninju dinding di sampingnya, berkali-kali sampai tangannya bengkak, buku-buku jarinya mengelupas mengeluarkan darah. Andari Iskandar menangis, tak kuasa membendung amarah putrinya.

"KAU GILO!" Mara berteriak sekencang yang ia mampu. Ia tak peduli dengan hujan air mata ibunya.

"Ibuk sudah dilamar."

"Berhenti ngomong!"

"Cili. Ibuk ndak sanggup nyekolahi kau lagi. Pensiun ayah ndak cukup kalau kau nak kuliah agek. Mas Prastowo ingin nyekolahi kau dan Luhur setinggi-tingginyo."

Mendengar nama Luhur dan betapa ibuk sangat memuja ayah pemuda  itu dengan sudah memanggilnya "mas" benar-benar membuatnya hilang kendali. Matanya melotot marah dan merah, pelan ia mulai melangkah mendekati ibunya.

"Mas? MAS? Kau bahkan ndak pernah manggil ayahku dengan sebutan sehormat itu! Kau bahkan tak pernah menyayangi ayahku! Kau hanya berpura-pura cinto!"

Andari kaget, tak menyangka kalimat-kalimat menyakitkan itu terucap oleh anaknya sendiri.

"Aku tulus menyayangi kalian beduo. Aku ndak pernah idak menghormati ayahmu." Suara Andari bergetar diantara isaknya. Pipinya basah oleh air mata. Ia ketakutan, takut akan amarah putri yang sangat dikasihinya itu.

"Kenapa harus Prastowo??? Kalau ibuk samo yang lain, aku biso nerimo. Jangan Prastowo, Buk!!! Ibuk tau kalau aku cinto ke anaknyo!!!"

Ibuk mendekatinya, menangkup wajah Mara yang dipenuhi air mata dengan kedua tangannya.

Bittersweet RomanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang