Keenam

2.6K 411 11
                                    

Mara dengan sabar menunggu Pandji menenggelamkan kepalanya ke dalam drum besar yang dipakai untuk menampung air hujan. Setelah lelaki itu mengangkat batoknya yang berlumuran air dan kekesalan, Mara baru berani untuk memulai.

Tadi, ia mencegat Pandji yang baru selesai latihan rutin untuk membicarakan peristiwa di ruangan Damar saban hari. Awalnya si teman menolak, karena menurutnya itu bukanlah urusannya. Tetapi Mara memang harus menjelaskan sesuatu agar tak ada pikiran–pikiran jelek yang mampir setiap kali Pandji melihat wajahnya.

"Kalau aku dan Tika nggak di sana, kalian bedua pasti udah ngentot, kan?"

Mara mengangguk, enggan untuk mengiyakan karena memang itulah yang akan terjadi jika mereka tak diinterupsi.

"Dan kamu mau nge-seks dengan lelaki macam itu?"

"Apa salahnya?" tanya Mara.

"Kalau denganku, kau mau juga?"

"Ya enggaklah. Kau dan Damar beda. Kamu teman, Ji."

Pandji masih jengkel. Dadanya yang telanjang naik turun mengatur napasnya yang sesak.

"Kenapa harus dia sih? Apa nggak punya setok yang lain?

"Kamu pernah jatuh cinta nggak?"

Pandji terdiam. Pernah kan? Jatuh cinta ke kamu.

Tapi lelaki itu tak menyuarakan isi hatinya karena ia tau kalau Mara akan tetap mengumumkan pada dunia kalau mereka adalah teman dan tak lebih dari status itu. Rasa sukanya saat mereka kanak-kanak dan rasa sukanya hari ini tak jauh beda, malah semakin membara. Tapi Mara tak pernah membuka hatinya untuk pria lain. Pandji tak pernah memerangi pertempurannya dengan Damar.

Tiba-tiba hatinya terasa sakit mengenang kembali nasib cintanya yang menggenaskan. Mungkin jika lawannya adalah pria lain, ia takkan seberdarah sekarang, tetapi ia terlihat sangat menyedihkan jika bersisian dengan lelaki semenakutkan Damar.

Anjing!

"Jangan terperosok terlalu dalam, Cil. Jangan berikan milikmu yang berharga kepada dia yang tak membalas perjuanganmu, yang tak menghargai dirimu. Jangan mau dibodoh-bodohi cinta karena hati seseorang bisa berubah. Aku tak ingin kau menumpahkan air mata penyesalan."

Mara merasakan dadanya sesak. Rasanya semua yan dikatakan Pandji sudah menjadi kenyataan, soal dirinya yang masih sebodoh dahulu, tetap takluk di kaki seorang Damar. Cinta sudah membutakannya. Dan gilanya, ia tetap tidak tau caranya untuk putar balik, menuju kewarasan yang seharusnya sudah ada sejak ia pergi tiga belas tahun lalu.

"Nggak apa-apa, Ji. Sudah terlanjur." Ucapnya dengan suara bergetar.

"Cili!!!" Pandji mencengkram kedua lengan Mara. Meneriakinya. Memarahi sahabatnya itu dengan nada penuh kekecewaan.

"Sersan Mara!!!"

Suara yang tak kalah keras membuat kepala Mara dan Pandji menoleh, pada Damar yang berdiri berkacak pinggang, tak jauh dari mereka. Lelaki itu sama marahnya dengan Pandji untuk alasan yang berbeda. Damar mendekat, menjauhkan Pandji dari Mara.

"Ikut saya!" Mulutnya berucap, matanya memelototi Pandji.

"Siap. Tapi saya ada perlu dengan..."

"Sekarang!" perintahnya.

Pandji melerai kedua tangan Damar yang berada di tubuh Mara. Hawa permusuhan semakin terasa diantara keduanya. Keduanya hampir sama tinggi, saling menempelkan dada dan menaikkan dagu, mengukur kekuatan lawan masing-masing.

"Jangan kau sentuh temanku. Kapten," desis Pandji. Urat lehernya menyembul. Ia telah siap konfrontasi.

"Apa?" ucap Damar dingin. "temanmu ini anak buahku. Semua orang disini harus sadar dengan posisinya masing-masing, termasuk dirimu, Prajurit."

Bittersweet RomanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang