Kesepuluh

5.2K 537 80
                                    

"Cah goblok! Kenapa aku?!"

Mayor Diandra terkejut ketika siang itu didatangi Damar dan Mara yang memintanya untuk menjadi saksi pernikahan mereka.

"Abang orang tua kami sekarang," kata Mara.

Diandra terlihat berusaha menyingkirkan rasa harunya. "Aku belum setua itu." Lalu tersenyum dan mengiyakan permintaan kedua adiknya itu.

Minggu sore di teras rumah dinas Mayor Diandra, mereka kembali mengulang cerita lama. Kemudian berbagi kisah lucu yang terlewatkan oleh Mara maupun Damar tentang Rawi dan Ketut. Dua kakak dan dua sahabat yang telah mendahului mereka. Sore itu rencananya, Diandra akan nyekar ke makam Ketut, yang meninggal dunia tiga tahun lalu karena kanker darah. Ia sudah bersiap pergi bersama istrinya ketika Damar memeluknya erat-erat dan berkata kalau tidak ada kata yang bisa diucapkannya untuk dukuangannya kepada dirinya dan Mara, kemudian berjanji tidak akan menjadi Luhur yang sering menyakiti hati Cili.

"Iyaaa, cah goblok, iya."

Mayor Diandra Embang Pradipta kemudian masuk ke dalam mobil bersama istrinya, lalu melaju pergi. Damar dan Mara tertinggal di belakang sambil bergandengan tangan. Mereka telah menyelesaikan satu misi tanpa halangan berarti.

                                                          ________________________________*

Mara menatap cincin berlian di jari manisnya bergantian dengan mata Damar dan pegawai toko perhiasan yang tersenyum-senyum menatapnya. Ia terlihat bahagia melihat wajah takjub Mara dan sebentar lagi akan menggesek kartu nasabah prioritas milik lelaki yang sudah sejak kemarin tak berhenti menelepon apakah pesanannya sudah selesai atau belum.

"Kau menyukainya?" tanya Damar harap-harap cemas. Apakah desainnya sangat sederhana? Apakah Mara menyukai sesuatu yang lebih glamor lagi?

Mara tersenyum ragu. "Aku lebih menyukaimu."

"Awww." Tiga pegawai toko yang lain koor serempak mendengar nada suara Mara yang merayu.

Damar mengangguk saja lalu menyelesaikan pembayaran. Mara menunggu di depan toko dengan tak berhenti melihat jarinya yang berkilauan. Sebentar lagi ia akan menjadi Nyonya Prastowo. Panggilan yang sama yang disematkan orang-orang ke diri ibunya dulu. Cerita hidupnya sangat ironis. Dulu ia sangat membenci ibunya karena pernikahan terburu-buru itu. Sekarang ia malah berada di posisi yang sama dengan beliau, menikahi keturunan Baskara Prastowo.

Lengannya ditarik pelan. Damar sudah selesai dengan tujuannya lalu bertanya apakah Mara mau makan malam dengannya. Mara mengangguk dan menyarankan tempat yang sepi.

"Tapi ini masih sore," kata Mara mengingatkan.

"Kita ke tempat lain dulu."

"Kemana?"

"Bukannya kau menyuruhku untuk bicara dengan orangtua kita?"

Mara membeku di lantai tempatnya berdiri. Damar tak serius kan?

                                                 ____________________________________*

Damar meletakkan blangkon—yang dibelinya tempo hari di Malioboro, di atas sebuah pusara. Tidak ada epitaph yang terukir di batu nisannya. Hanya ada dua nama, dua tanggal lahir berbeda dan satu tanggal kematian yang sama. Baskara Pratowo dan Andari Iskandar memang dimakamkan dalam satu liang yang sama. Tidak banyak bagian tubuh yang bisa ditemukan oleh tim evakuasi, sehingga pihak keluarga memutuskan untuk memasukkan yang tersisa ke dalam satu peti mati.

Ibunya dan ayah Damar meninggal dunia dalam perjalanan mereka ke Eropa, dimana pesawat yang mereka tumpangi, jatuh dan menewaskan semua kru dan penumpangnya. Kejadiannya lima tahun yang lalu, hanya dua bulan setelah Baskara pensiun dari kemiliteran. Rencana mereka untuk menetap sementara di Swiss pupus sudah dalam sebuah kecelakaan tragis dan meninggalkan anak-anak yang berstatus yatim piatu.

Bittersweet RomanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang