Kedelapan

2.9K 401 30
                                    

Serma Yadika mengangsurkan sebuah amplop coklat yang tersegel rapi. "Sana cari Kapten Damar. Surat ini harus segera dibacanya. Saya harus ikut rapat. Sekarang!"

Mara segera melaksanakan perintahnya. Dengan tergesa-gesa ia berjalan turun ke bawah lalu berhenti setiap ia bertemu dengan seseorang yang kira-kira tau dimana Damar berada.

"Coba cari di lapangan tembak. Latihan baru selesai lima belas menit lalu."

Sialan! Lapangan tembak jauh di belakang dan Mara tak terlalu menyukai melewati hutan kecil yang berada di satu sisi jalannya. Tapi ia harus kesana, tugas ini sangat mendesak. Ia berlari kecil menuju tujuan dan berlari sekencang yang ia bisa ketika melewati hutan horor itu. Pikirannya ikutan berlari bersama puluhan hantu berselimut kain putih dengan kucuran darah dari puncak kepalanya.

Mara menemukan Damar tengah duduk menyender di pagar pembatas lapangan, sedang melamun dengan rokok yang tengah menyala di bibirnya. Tidak ada orang lain di sana, ada hanya dirinya, Damar dan ratusan hantu yang melayang-layang.

"Kapten!"

Komandannya menoleh dan tak sadar rokoknya telah meluncur turun lalu jatuh ke pangkuannya. Sedetik kemudian, selangkangan Damar mengeluarkan asap. Mara berteriak dan refleks mendekatinya, kemudian menginjak-injak Damar tepat di burungnya.

"Anjing! Cili! Berhenti!"

Damar menjauhkan kaki laknat Mara dari kebanggaannya. Membuat perempuan itu terjatuh ke belakang. Punggungnya terhempas, pantatnya menghentak keras. Sakitnya bukan main.

"Luhur anjing!"

                                                      __________________________________*

Mara memegangi perutnya yang kesakitan karena terlalu semangat tertawa. Damar yang duduk di depannya meringis-ringis memegangi burungnya yang penyet untuk kedua kali karena tuah kaki Mara yang ganas.

"Maaf, Lur. Maaf."

Damar tak menghiraukan permintaan maafnya. Sakit yang dirasakannya luar biasa. Mungkin jika perempuan itu tadi tak berhenti, burungnya pasti sudah habis dan tak bisa lagi memproduksi manusia baru. Melihat Mara yang tertawa- tawa di atas penderitaannya, hanya membuat rasa sakitnya bertambah. Ia harus menghitung sampai sepuluh untuk mendinginkan kepala dan tak berakhir menembak Mara tepat di kepalanya.

Mara datang lagi setelah ia selesai membaca dokumen rahasia yang tadi dibawa anak buahnya itu. Tadi ia mengusirnya untuk mengambil es batu dan sekaleng minuman kesukaannya.

"Sana!" perintah Damar.

"Nggak mau! Lewat sana ngeri." Tunjuk Mara kea rah hutan.

Damar menyepak kakinya. "Sersan! Pergi sana!"

"Siap."

Mara menghabiskan minuman yang baru diminumnya setengah. Keduanya duduk dengan kaki terjulur dan sekantong es di selangkangan Damar dan Mara pun melamun. Siang cukup terik tapi pepohonan yang mengelilingi mereka memberi tambahan kesegaran dengan warna hijau yang menyejukkan mata. Sebentar lagi makan siang dan Mara entah kenapa lapar sekali. Ia rasa ia bisa memamah seekor tapir seorang diri.

"Kau mau kencan lagi?" Damar memutus pikirannya soal tapir guling.

Mara Menoleh ke samping dan yang dilihatnya adalah seraut muka serius. "Kemana?"

"Jauh."

"Sejauh apa?"

"Jogja."

"Balik rumah? Kangen ya?"

Bittersweet RomanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang