Kesembilan

2.6K 415 21
                                    

Dua minggu lamanya, baik Damar maupun Mara berpura-pura tak ada apapun yang terjadi di Jogjakarta. Soal lamaran itu dan cumbuan mereka yang hampir kebablasan di salah satu penginapan di Gunung Kidul. Mereka tetap seperti biasa, bekerja profesional dengan status komandan dan bawahannya. Mara memberi hormat, Damar membalasnya. Mara memanggilnya komandan, dan setiap kali lelaki itu membutuhkannya, ia akan memanggil Mara, Sersan Mara.

Siang itu, Mara menemukan Damar tengah makan siang di kantin, berdua dengan Zalia Adiatmadja. Meskipun tetap menjaga jarak demi kesopansantunan, tapi dari gelagatnya, Mara tau, kalau gadis itu ingin mengulangi masa lalunya, yaitu ingin duduk di atas pangkuan Damar.

"Kenapa adikmu bisa di sini?" tanya Mara kepada Pandji. Ia sengaja duduk di depan Pandji, dua meja di seberang Damar dan Zalia.

"Mana ku tau."

Pandji terlihat sama kesalnya dengan Mara. Meskipun tak menyukai adiknya yang memepet musuh besarnya, tapi ia bisa apa. Zalia adalah putri di keluarga mereka dan adik yang paling disayanginya. Jika gadis itu meminta bulan dan matahari berganti tempat, ia akan berusaha melakukannya, semustahil apapun itu.

Karena tak menyukai jawaban Si Kakak, Mara beralih memandangi gerak-gerik Si Adik. Ia ingin melihat reaksi Damar, apakah tergoda dengan Zalia yang memang terkenal karena kegenitannya itu. Baju seragam PNS-nya terlalu ketat membungkus tubuhnya yang ramping. Wajah cantiknya kelewat tebal dipolesi make-up. Mungkin ia merasa kalau ia tengah mengikuti kontes ratu sejagat. Lihat saja gerakan anggunnya yang dibuat-buat itu. Pengen rasanya melemparkannya ke kandang buaya.

Mara keluar dari kantin dengan kekesalan yang tak bisa ditutup-tutupinya. Ia rasa ia sanggup memasukkan Zalia ke dalam panci bertekanan tinggi lalu merebusnya dengan api kemarahan.

"Teh Cili!"

Mara memutar badannya, di ujung koridor, Zalia berjalan seperti seorang model menuju ke arahnya. Wanita itu tampaknya keseringan gagal mengambil tes SIM C. Lihat saja caranya berjalan, ia tampak seperti melangkah diantara traffic cone, zig zag.

"Sudah berapa lama kau dinas di sini?" tanya Mara

"Belom lama sih Teh, kenapa?"

"Tidak ada yang memanggilku Cili. Di sini namaku Dhamara."

"Aih, padahal lebih keren Cili gitu. Kayak merk saus sambal."

Bibir Zalia yang bergincu merah jambu itu pengin dikuncir Mara, atau bulu matanya yang tak berhenti bergetar sedari tadi ingin dibabatnya pakai arit. Sejak kapan anak kecil ini menjadi genit? Padahal dulu ia sangatlah lugu dan pemalu. Ah, waktu memang begitu berkuasa akan diri seseorang, tak lama bertemu, Mara telah menemukan Zalia yang baru. Dibalik sikapnya yang ayu, Zalia ternyata seorang predator kelas kakap dengan korban lelaki-lelaki tampan.

"Teh. Double date, yuk!"

"Apa?"

"Teteh sama A' Adji, aku sama Mas Damar."

"Apa?!"

                                                              ___________________________________*

Mara menyepak kaki Pandji di bawah meja. Pria itu meringis, menatap Mara jengkel. Di depan mereka, pasangan Damar dan Zalia duduk dengan sikap berbeda. Damar bersedekap menyalahartikan tatapan Pandji ke Mara. Zalia di sisi lain, menggeser kursinya lebih dekat ke kursi Damar sambil membacakan semua jenis menu yang ditawarkan pihak restoran.

"Kayaknya enak-enak deh. Mas mau yang mana? Atau aku aja yang pilihin?"

Damar tak menjawab, matanya masih betah memandangi Mara yang sekarang ganti sibuk mengelap meja dengan tisu. Wanita itu jelas berusaha menghindarinya, sejak bertemu tadi di depan restoran pilihan Zalia dan saat ini, di saat Damar berusaha untuk membuka percakapan dengannya.

Bittersweet RomanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang