Keempat

2.8K 425 36
                                    

Ia meletakkan buku yang tengah dibacanya ke atas paha. Dalam hati ia menghitung mundur. Lima, empat, tiga, dua. Tepat di angka satu, ia menjulurkan leher sedikit. Di ujung sana, ada anak perempuan gendut tengah berlari-lari kecil dengan riang menuju rumahnya. Ia kembali menarik kepala, menutup wajahnya dengan buku dan menunggu.

Kali ini ia tak menutupi dirinya. Matanya terangan-terangan melihat dan menilai. Mayor Diandra tak bercanda, Mara Rustam, betulan ada di sini, di dekatnya. Sangat dekat. Ia cukup dewasa untuk tidak bertingkah malu-malu layaknya anak kecil yang baru mengenal lawan jenis. Ia adalah pria dewasa yang tidak suka menunggu jika pilihan lainnya adalah tenang lalu diam-diam menyerang. Jika Mara mengangkat kepala lalu mata bertemu mata, Damar tak akan lari.

Hari ini adalah hari pertamanya di tempatnya yang baru. Meninggalkan kantor yang lama dan semua hal yang berkaitan dengannya, jauh di belakang, tanpa ada yang perlu dikenang. Ia baru keluar dari ruangan Mayor Diandra, senior yang paling dihormatinya diantara semua abituren. Bersyukur karena akan berkantor di tempat yang sama sekaligus ketakutan saat Mayor Diandra memberikannya sebuah informasi yang membuatnya terkejut.

"Cewek yang dulu manggil kamu bebek, dinas di sini juga, dan dia sudah berubah banyak. Aku bertaruh, kau akan dibuatnya bertekuk lutut." Beliau menepuk bahunya dan berkata, "Selamat menikmati karmamu."

Sebentar lagi ia akan dilantik dan merasa perlu persiapan mental menghadapi orang-orang yang untuk pertama kalinya akan bekerjasama dengannya. Untuk itulah ia sengaja menyapa Mayor Diandra untuk mendapatkan sedikit wejangan dan sedikit kata semangat, tapi kalimat terakhir yang terlontar dari mulut beliau justru membuatnya bertanya-tanya, apa benar sebentar lagi ia akan termakan sumpahnya sendiri?

Keluar dari ruangan Mayor Diandra, Damar kepikiran untuk lewat pintu belakang, karena lebih dekat dari lapangan, namun lebih kecil berkemungkinan berpapasan dengan prajurit lain. Ketika akan berbelok menuju koridor, langkahnya terhenti, sang karma pelan-pelan mulai mendekatinya.

Di sana, terpisahkan oleh sebuah taman kecil, ia di teras belakang kantor, perempuan itu ada di seberang, di sebuah jalan kecil berkerikil, sedang berjalan santai dengan mata yang tak lepas dari gawai di tangannya. Apa yang telah menarik perhatiannya? Pesan dari seorang yang istimewa? Sebuah surel penting? Ataukah ia asyik menyelesaikan level tersulit dari sebuah permainan?

Damar tersenyum. Hatinya tiba-tiba menghangat. Debaran di jantungnya terasa lebih cepat. Mayor Diandra benar, ia seperti mendapatkan sebuah kado dan akan dibuat terkejut oleh isi di dalamnya.

Banyak yang berubah. Semuanya atau paling tidak fisiknya. Ia tak menemui lagi rambut kotak kering dan wajah bulatnya. Helaian halus dan hitam lebat itu hampir menyentuh pundaknya, jatuh di pipinya yang tirus pada wajah berbentuk hati. Damar tak menyukai perempuan kurus tetapi ia mengencani mereka. Ia bergairah pada tubuh sintal menggoda dan perempuan itu punya semua yang disukainya. Coba lihat pinggulnya, berayun kenes seiring langkahnya kakinya yang mantap. Buah dadanya menyerobot perhatian, mendesak maju seragamnya yang dijahit pas badan dan kakinya yang indah itu terlihat pas jika memeluk pinggangnya di saat mereka bercinta kelak.

Berapa banyak waktu yang hilang diantara mereka? Tiga belas tahun? Kalau bukan takdir apakah ini nasib buruk? Ia rasa tidak, pertemuan kembali antara dirinya dan Mara, lebih dari sekedar kebetulan. Tuhan menyatukan mereka pasti dengan sebuah alasan dan Damar tak ingin mengira-ngira, tapi firasatnya berkata untuk menyuruhnya berhati-hati, karena Mara Rustam bernama tengah kekacauan.

Perempuan itu berbelok menuju jalan beraspal, Damar mengikutinya. Koridor beratap itu sama panjangnya dengan jalan yang dilalui Mara. Diantara langkahnya, sesekali ia melirik ke samping, kepada Mara yang masih tak paham kalau ia tengah dinilai oleh seorang lelaki. Mara semakin tuli dan buta karena ia menutup pendengarannya dengan sebuah earphone, membiarkan sebuah lagu memakan semua firasat baik dan buruknya.

Bittersweet RomanceWhere stories live. Discover now