1. Awal Dari Semuanya

1.2K 120 2
                                    

Laki-laki dengan balutan jas formal itu memandang benci dua orang yang tengah berdiri di pelaminan. Ia benci, benci melihat sang Ayah tersenyum bahagia bersamas istri barunya.

Laki-laki dengan nama lengkap Danafa Arza tampak menghembuskan nafas, kembali termenung mengingat fakta bahwa dirinya akan memiliki ibu dan saudara tiri. Ah, sudah memiliki tepatnya.

Tepukan di pundaknya menyadarkan Arza dari lamunan, ia mendongak, netranya langsung menangkap sosok gadis yang selama ini menemaninya. Gadis yang kini tersenyum ke arahnya seolah berkata "kamu harus kuat".

Rifda Fahira, namanya. Nama yang cantik seperti orangnya. Sepertinya tuhan sedang berbahagia saat menciptakan Rifda. Rifda adalah sahabat Arza, mereka berteman sejak kecil, tentu saja karena rumah mereka yang berhadapan.

Rifda mendudukkan diri di samping Arza, tangannya masih setia menepuk-nepuk bahu Arza memberi kekuatan.

Rifda sangat mengerti bagaimana perasaan Arza sekarang, di hari pertama mereka masuk SMA Ibu Arza meninggal dunia. Dua hari kemudian Ayahnya memutuskan untuk menikah lagi, dan hari ini tepat sepuluh hari kepergian sang Ibu. Arza sudah memiliki Ibu baru. Beban ini terlalu besar untuk ditanggung anak yang baru berusia 16 tahun.

"Nangis aja kalau mau nangis," ucap Rifda. Pundak Arza yang tampak bergetar membuat Rifda menarik kesimpulan bahwa laki-laki ini sedang menahan air mata.

Arza hanya diam. Bukan dia sok kuat, Arza sungguh ingin menangis, tapi lukanya terlalu dalam, bahkan untuk menangis pun terasa sulit.

"Kakak."

Panggilan itu membuat Arza dan Rifda menoleh ke sumber suara, tatapan mereka jatuh pada gadis yang berdiri  dengan memegang satu cup besar es krim.

Arza tahu, yang dipanggil "kakak" oleh gadis ini adalah dirinya, karena gadis ini adalah anak dari wanita yang sekarang tengah bersanding dengan Ayahnya. Ya, gadis kecil ini adalah adik tirinya.

Arza hanya diam memandangi gadis yang berdiri di hadapannya dengan tatapan datar. Inaya Tusyifa namanya. Syifa yang berarti obat, mungkin orang tuanya dulu ingin Inaya menjadi obat bagi siapa saja yang bersusah hati. Tapi bagi Arza, Inaya adalah racun. Racun mematikan yang menggerogoti tubuhnya, dan sebentar lagi racun itu akan menghancurkan raganya.

Jika dilihat lagi, Inaya sangat cantik. Tubuh pendek yang dibalut dress putih selutut, pipi chubby yang terdapat noda es krim. Sangat menggemaskan.

Tapi sayang sekali Arza tidak bisa melihat wajah menggemaskan Inaya, yang ia lihat hanyalah wajah tak tahu malu dari anak seorang perusak rumah tangga dan itu sangat menjijikkan di matanya.

Tunggu, bisakah disebut perusak rumah tangga di saat mereka datang setelah Ibunya sudah tiada? Entahlah, untuk sekarang Arza hanya memikirkan panggilan itu, mungkin lain kali ia akan memikirkan panggilan lain.

"Kakak mau es krim?" tanya Inaya.

Arza tidak merespon, ia memilih diam. Merasakan atmosfer yang berubah dari sahabatnya, Rifda yang peka segera meminta Inaya untuk tidak menggangu Arza dulu, tapi Inaya sangat keras kepala, ia tidak menghiraukan ucapan Rifda.

Ia dengan lancang duduk disamping Arza dan mulai berbicara. Bercerita banyak hal dengan suara cemprengnya. Ia terus berbicara walaupun tidak ada yang merespon.

"LO BISA DIAM GAK SIH?!" Meledak sudah amarah Arza, dia sudah tidak tahan dengan gadis yang hanya berpaut usia satu tahun dengannya.

Suara Arza membuat mereka jadi pusat perhatian saat ini, semua tamu undangan menatap ke arah mereka. Di mana Arza yang berdiri menghadap Inaya dengan sorot mata penuh kebencian, sedangkan Inaya menatap Arza dengan mata yang berkaca-kaca.

Ini pertama kali baginya dibentak, bahkan selama 15 tahun hidup Ibunya tidak pernah meninggikan suara. Tapi sekarang, ia dibentak oleh kakak tirinya di depan umum.

Danial -ayah Arza- segera turun dari pelaminan, matanya menatap tajam Arza sedangkan yang ditatap hanya memasang ekspresi datar.

"Apa yang kamu lakukan?!" bentak Danial pada Arza. Arza sama sekali tidak takut ataupun terkejut dengan suara bentakan Danial, dirinya sudah terlalu terbiasa.

"Hanya menegur anak pelacur ini agar lebih sopan," ucap Arza sengaja menekan kata 'pelacur'.

Mendengar ucapan kasar sang anak, Danial sudah bersiap menampar wajah Arza, tapi pergerakkannya tertahan saat Viana -istri barunya- menggenggam tangannya erat. Seolah tahu apa yang akan Danial lakukan pada Arza.

Rifda melakukan hal yang sama, ia menggenggam lembut telapak tangan Arza yang terkepal. Menyalurkan energi positifnya.

Sepasang mata tajam ayah dan anak ini saling adu tatap, tidak ada yang mau mengalah menurunkan pandangan. Seolah ini adalah sebuah lomba di mana orang yang lebih dulu berkedip akan kalah.

Setelah hening beberapa saat. Rifda segera menarik tangan Arza, membawanya ke halaman belakang.

"Duduk," titah Rifda.

Arza menurut, ia mendudukkan dirinya pada kursi kayu, menyandarkan kepala mencoba berpikir jernih. Namun nihil. Otak dan hatinya sudah dipenuhi amarah, sangat sulit mencoba berpikir di saat perasaannya sangat kacau.

Arza menatap Rifda yang duduk di samping, alisnya bertaut saat menemukan Rifda hanya memejamkan mata menikmati semilir angin. Arza pikir Rifda akan memarahinya atas apa yang baru saja terjadi.

"Biasa aja liatnya," gumam Rifda pelan.

Matanya terbuka, menampilkan dua bola mata berwarna hazel yang indah, tatapannya yang teduh dan menenangkan membuat siapapun yang menatap mata itu seolah tenggelam dalam danau ketenangan.

"Lo gak mau marahin gue?" tanya Arza ragu.

Rifda mengangkat sebelah alisnya, untuk beberapa saat dia tidak mengerti maksud dari ucapan Arza, tapi detik berikutnya ia paham. Rifda terkekeh.

"Marah untuk apa? Kalau jadi lo, gue juga bakal marah, tapi gak akan separah lo," jawab Rifda santai.

Arza menunduk, ia akui apa yang baru saja ia lakukan memang sudah kelewatan, tapi mau bagaimana lagi? Gadis bernama Inaya itu sangat menyebalkan, terlebih saat mengingat fakta bahwa gadis itu adalah adik tirinya.

Rifda yang melihat Arza hanya menundukkan kepala hanya bisa menghela nafas panjang. Ia benci melihat sahabatnya seperti ini.

"Gue gak pandai menghibur Za," ucap Rifda.  Kepalanya kembali disandarkan pada kursi, menatap langit yang sudah berubah orange. "Gue bingung harus bilang dan ngelakuin apa. Gue mau nyuruh lo kuat, tapi yang namanya kehilangan akan sulit untuk kita jadi kuat. Kalau gue bilang semuanya akan baik-baik aja, itu bohong Za. Gue bukan tuhan, dan gue gak tahu apa semuanya memang benar akan baik-baik aja."

Rifda menjeda ucapannya, menarik nafas kemudian melanjutkan ucapannya. "Tapi cuma satu yang bisa gue bilang ke lo, dan gue yakin kalau gue benar seratus persen. Gue akan selalu ada buat lo, gue akan selalu di samping lo. Lo gak sendirian Za, Ada gue yang selalu siap saat lo butuh. Lo bisa datang ke gue saat lo sedih, gue akan nemenin lo."

Arza terdiam, kata-kata Rifda sangat menyentuh. Arza tersenyum tipis, sangat tipis. Ia senang setidaknya Tuhan masih menyisakan Rifda untuk dirinya.

Arza akhirnya melakukan hal yang sama seperti Rifda, menyandarkan kepala memandangi langit sore.

"Thanks Da," ucap Arza pelan, tapi masih bisa terdengar oleh Rifda.

Rifda tersenyum. "Jadi gimana? Sudah lebih baik Danafa Arza? Ah, apa sekarang gue boleh manggil lo Dana?" tanya Rifda dengan kekehan.

Arza terdiam sejenak, Dana adalah nama panggilan yang biasa bundanya pakai.

Dan entah apa yang lucu, kedua anak berusia 16 tahun itu tertawa.

KAK! | Lee Haechan (Revisi)Complete✔Where stories live. Discover now