18. Bantu Kakak, ya?

492 47 10
                                    

Bugh!

"Anjing!" umpat Arza.

Sebuah bola basket kembali menyentuh kepala belakang Arza. Pelakunya masih sama, si kakak kelas pemarah, suka mengumpat dan tidak punya teman. Benar, itu Alvian, sepupunya sendiri.

"Heh sialan! Serius main gak sih lo?!" geram Alvian, dia sedikit berteriak mengingat jarak mereka berdiri cukup jauh.

"Gue selesai, minta pemain yang lain masuk," balas Arza juga berteriak. Ia pergi dari lapangan masih dengan mengusap kepala belakangnya.

Arza akui memang sedari tadi dirinya tak fokus dalam latihan, itu karena sekarang otaknya berkelana memikirkan satu nama, "Inaya". Arza terus memikirkan tentang kejadian tiga hari lalu, dimana dia dan sang Ayah bertengar hebat sampai membahas harta.

Arza masih ingat, bagaimana mata yang biasanya berbinar ketika menatapnya, malam itu memandangnya sendu. Senyum yang biasanya sangat cerah, berubah menjadi senyum penuh kekecewaan. Sejak malam itu, Inaya tak lagi banyak bicara. Dia memang tetap menyapa Arza, tapi dia sudah tidak lagi mengganggu atau mengikuti Arza.

Hal itu sukses membuat Arza frustasi, banyak pertanyaan muncul di kepalanya. "Apakah ia membuat kesalahan?" "Apakah ucapannya malam itu menyakiti Inaya?" "Apakah dirinya sudah sangat keterlaluan?"

Arza berjalan dengan menyeret kedua kakinya menuju tribun penonton, tempat Rifda menunggunya. Rifda yang asyik bermain ponsel tak menyadari kehadiran Arza sama sekali, sampai Arza menjatuhkan kepalanya di bahu Rifda, membuat dia tersentak kecil.

"Udah mainnya?" Rifda bertanya, masih dengan fokus yang tertuju pada ponsel.

"Hm, Alvi main kekerasan mulu," adu Arza.

Rifda terkekeh, dia melihat saat kali kedua Alvian melemparkan bola basket ke kepala Arza, dan sepertinya laki-laki itu melakukannya lagi.

"Lo juga ngelamun mulu, mikirin apa, sih?"

Arza menggeleng. "Engga mikirin apa-apa. Da, elusin kepala gue dong, nyeri banget." Arza selalu begitu, mengalihkan pembicaraan.

Rifda menghela nafas, dengan posisi Arza yang masih menumpang di bahunya, Rifda mulai mengusap-usap kepala belakang Arza. Membuat sang empu memejamkan mata hampir tertidur, kalau saja sebuah bola basket tidak mengenai tulang keringnya. Arza mengaduh, kemudian menatap garang sang pelaku yang lagi-lagi orang yang sama, Alvian bangsat Azka -Mari gunakan nama ini saat Alvian bertingkah menyebalkan-.

"Lo punya masalah hidup apa sih, bangsat?!" seru Arza kesal. Ia semakin dibuat kesal dengan respon Alvian yang justru meminta bolanya kembali.

"Kalau mau pacaran, pulang sana!" ketus Alvian setelah menerima bola operan Arza.

"Anak sialan itu," desis Arza. "Mau pulang duluan atau nunggu yang lain selesai?" Arza pada akhirnya memanfaatkan kesempatan dengan baik, lagipula ucapan si kapten barusan mengisyaratkan Arza untuk pulang cepat 'kan?

"Kalau pulang duluan, boleh?" tanya Rifda.

"Pasti boleh, ayo." Arza bangkit, mengulurkan tangan mengajak Rifda untuk turut bangkit, kemudian merangkul bahu Rifda.

"Kapten! Izin pulang, ya, mau pacaran!" teriak Arza saat ia dan Rifda sudah berada di pinggir lapangan.

Alvian mendengus, namun tak urung memberi izin. Lagipula kalau mereka ada di sini, sangat tidak baik untuk hati Alvian yang mudah terbakar. Walau dia tahu perlakuan Arza terhadap Rifda, hanya sebatas sahabat, tapi sebagai laki-laki yang mencintai Rifda, tetap saja dia cemburu!

KAK! | Lee Haechan (Revisi)Complete✔Where stories live. Discover now