23

341 44 5
                                    

Setelah kejadian beberapa hari yang lalu, Arza kembali menjadi pribadi yang dingin, jarang bicara dan tak ingin berinteraksi dengan orang rumah, kecuali Inaya. Ya, tentu saja Inaya menjadi pengecualian. Arza hanya akan menanggapi ucaoan Inaya, menuruti perintah Inaya, apapun. Apapun itu, asal Inaya yang meminta. Seperti saat ini, Arza satu meja makan bersama keluarganya, atas permintaan dari Inaya. Sebenarnya Arza malas, tapi Inaya terus memaksa dan merengek.

Suasana di ruang makan sedikit mencekam, karena aura dingin yang menguar dari Ayah dan anak ini. Seolah saling menunjukkan bahwa mereka tak menyukai satu sama lain. Viana sendiri merasa sedikit tak enak hati, ia juga menyayangkan suaminya yang bertindak semena-mena pada Arza. Dengan membakar foto Bunda kandung Arza. Padahal sebelumnya hubungan keluarga ini hampir membaik.

Viana sebenarnya tak tahu alasan Danial membakar semua barang peninggalan Ika -Bunda Arza-, saat itu Danial tiba-tiba pulang ke rumah, dengan tergesa-gesa ia mengumpulkan barang milik Ika, Viana sempat bertanya, bahkan mencoba menghentikan, tapi saat itu Danial bagai orang kesetanan. Ia juga berucap "Orang mati tak seharusnya meninggalkan sisa, baik itu barang ataupun kenangan." Viana sungguh tak mengerti ucapan Danial kala itu.

"Arza, bagaimana kakimu, sudah membaik? tanya Viana. Berusaha mengubah suasana mencekam ini dengan sedikit obrolan. Namun sepertinya sang lawan bicara tak mau merespon.

Melihat Arza yang tak kunjung membalas ucapan Mama, Inaya yang mengambil alih menjawab. "Sudah membaik, Mama gak perlu khawatir. Aku sudah rajin mengobati, gak lama lagi akan sembuh."

Viana menganggukkan kepala. "Bagus kalau begitu. Inaya harus sering menjaga Arza, oke?"

"Pasti." Inaya menbalas riang.

"Itulah karena ceroboh, kamu jadi merepotkan orang," sindir Danial pada Arza.

Arza mengernyit tak suka mendengar ucapan Ayahnya itu. Apa ini? Sang Ayah menyindirnya? Yang benar saja! Sudah jelas-jelas ini salah Danial. Lagipula siapa yang merepotkan? Inaya saja yang bersikeras ingin merawatnya. Namun, karena tak ingin membuat pagi hari ini gaduh, Arza memilih tak menanggapi. Digenggamnya sendok makan itu dengan erat, mencoba meredam emosi yang sudah hampir di puncak.

"Lihat sekarang, saat kamu terluka siapa yang mengobati? Inaya dan Viana, bukan wanita yang sudah terkubur satu tahun yang lalu." Danial semakin menjadi dalam memojokkan Arza. Sepertinya dia memang suka jika anaknya itu membenci dirinya.

Brak!

Arza menggebrak meja dengan kuat. Membuat kaget Inaya dan Viana, keduanya memandang takut-takut Ayah dan anak yang terus berseteru itu, kali ini apa lagi? Arza sendiri menatap marah sang Ayah, sudah dibilang 'kan? Emosinya sudah hampir di puncak, dan Danial terus memompanya. Terlebih lagi yang dibicarakan adalah Bunda. Orang yang sudah melahirkan dan membesarkan dirinya, orang yang selalu menjaga Arza, dan orang yang sangat Arza sayang. Jadi, bagaimana Arza bisa berdiam diri saat Bunda dijelekkan?

Dengan mata tajamnya, Arza sama sekali tak menurunkan pandangan, sedangkan Danial yang ditatap hanya menunjukkan ekspresi tenang.

"Siapa yang merepotkan siapa di sini?" Arza berujar sinis. Matanya menatap satu per satu orang yang ada di ruangan itu. Smirk merendahkan Arza berikan untuk mereka. "Arza rasa Ayah belum lupa, rumah milik siapa ini. Ika Ilma, nama pemilik rumahnya. Orang yang baru saja Ayah katakan sudah terkubur satu tahun yang lalu. Kalian menumpang, tapi bersikap kurang ajar, dengan membakar barang milik tuan rumah. Jika tidak tahu malu, setidaknya tahu diri-lah," lanjut Arza.

Setelah mengatakan itu, Arza bangkit meninggalkan ruangan. Mengabaikan ekspresi Danial yang tampak mengeraskan rahang, tanda pria itu marah. Dengan kaki yang belum sembuh total, Arza harus berjalan tertatih. Setidaknya lebih baik daripada duduk bersama manusia menyebalkan, seperti Ayah.

KAK! | Lee Haechan (Revisi)Complete✔Where stories live. Discover now