15. No Title

399 57 8
                                    

Satu minggu tinggal bersama Inaya adalah hal paling sial yang pernah Arza rasakan. Arza benar-benar mengharapkan orang tuanya cepat pulang, ia tak tahan, sungguh.

Inaya sangat menyusahkan. Kalian tahu hari seperti apa yang Arza lalui selama seminggu ini? Pertama, Arza tidak bisa keluar rumah dengan bebas karena Inaya takut sendiri, apa kalian pikir Arza peduli? Tentu saja tidak! Tapi apa kalian tahu apa yang terjadi saat Arza pergi meninggalkan Inaya sendiri di rumah?

Saat itu Arza pergi ke rumah Alvian, untuk bermain game tentunya. Inaya yang kepala batu menyusul Arza, dan kalian tahu apa yang gadis bodoh itu lakukan? Ia tersesat! Dengan bodohnya ia menaiki bus yang berbeda tujuan, Arza dan Alvian dibuat kalang-kabut olehnya.

Yang kedua, gadis itu pemalas, tidak bisa masak, berisik, penakut, cengeng dan masih banyak lagi. Arza dibuat frustasi saat bersamanya.

Arza menutup laptop dan merapihkan bukunya, menyudahkan acara belajar malam ini. Ia melirik sekilas pada jam digital  di nakas, pukul 8.30 pm. Masih terlalu awal untuk pergi tidur, akhirnya ia memilih melangkahkan kakinya menuju balkon.

Balkon kamar adalah pilihan yang tepat, karena ia langsung disuguhkan pemandangan langit malam yang indah dengan taburan bintang. Dan juga pemandangan gadis yang sedang berkutat dengan komputernya, bermain game.

Arza tertawa kecil melihat bagaimana lucunya Rifda bermain game, gadis itu akan melompat kecil saat ia berhasil membunuh lawan dan akan memaki saat ia yang dibunuh, Arza sudah kelewat hapal tentang Rifda.

Ah, Arza jadi teringat sesuatu, sudah satu minggu ini dirinya tak bermain ke rumah Rifda, karena Inaya tentunya. Ia bahkan melanggar janji bermain dengan Rifda di taman, Arza yang melupakan janjinya membuat Rifda menunggu sampai 3 jam lamanya di taman, dan sampai sekarang ia belum sempat meminta maaf pada Rifda.

Arza tersenyum tipis saat sebuah ide muncul di otaknya, ide untuk meminta maaf kepada Rifda. Tentu saja dengan membawa sogokan berupa makanan ringan, coklat dan es krim, karena memang harga diri Rifda hanya sebatas makanan.

Arza berbalik menuju kamar, ia akan pergi meminta maaf sekarang sekaligus menghilangkan bosan. Tapi dilangkah ke-4 seluruh listrik di komplek itu padam, membuat satu komplek gelap gulita. Arza menghela nafas, sepertinya ia harus menunda hingga besok.

Arza melanjutkan langkahnya tanpa kesulitan, ia sudah sangat hapal letak kamarnya, jadi ia tak perlu meraba-raba sekitar atau menabrak. Setelah berhasil mendudukkan diri di ranjang, Arza lagi-lagi dibuat bingung tentang apa yang harus ia lakukan. Belajar disaat gelap seperti ini sangat tidak mungkin, tidur? Arza tidak ingin mengambil resiko bangun tengah malam. Ah, bermain ponsel!

Arza mengambil ponselnya yang tadi ia simpan di meja belajar. Tangannya meraba kesana kemari mencari letak ponselnya, tapi tidak ketemu. Aish, dimana sih?! Arza sangat ingat ia menaruh ponselnya disini. Tangannya masih sibuk meraba sampai terdengar bunyi-

Prang!

Sialan, itu ponselnya! Buru-buru Arza meraih ponselnya yang berada dekat di kakinya. Masih hidup! Syukurlah! Ya, walau retak sedikit.

Baru saja ia bernafas lega, suara ketukan di pintu mengagetkannya hingga tanpa sengaja ia kembali menjatuhkan ponselnya! Double sial!

Ia kembali meraih ponselnya. Oh tidak! Arza ingin menangis saja rasanya. Ponsel yang tadi hanya retak sedikit sekarang memiliki banyak sekali goresan di layarnya. Bersamaan dengan Arza yang meratapi nasib, suara ketukan di pintu kembali terdengar.

Tok ... tok ... tok ...

Arza abai, ia yakin itu adalah Inaya. Tapi ketukan tersebut malah semakin brutal. Arza berdecak kesal, ia menyalakan flash di handphone-nya sebelum berjalan menuju pintu.

KAK! | Lee Haechan (Revisi)Complete✔Where stories live. Discover now