5. Maaf

608 81 6
                                    

Arza memasuki rumah besar yang tampak sepi. Jam masih menunjukkan pukul 12.45 pm. Ya, Arza membolos. Setelah mendengar ceramahan Rifda di lapangan basket tadi, mood Arza yang sudah hancur bertambah hancur. Ia tidak memiliki minat untuk masuk kelas, dan berakhirlah ia memanjat tembok belakang sekolah. Ia meninggalkan tas serta motornya di sana, Arza tak peduli jika barang itu hilang.

Arza memasuki kamar dengan nama "Alvian" di depan pintunya. Kamar dengan dinding berwarna biru tua itu penuh dengan hiasan benda langit, sepertinya sang pemilik kamar sangat menyukai astronomi.

Arza merebahkan tubuh lelahnya di ranjang king size, pikirannya kembali menerawang, mengingat kejadian beberapa waktu yang lalu. Apakah Arza sudah keterlaluan?

"Gak Arza, lo gak salah, dia yang mulai." ucap Arza berusaha menenangkan dirinya.

Tapi sepertinya cara itu tidak berhasil, rasa bersalah semakin dalam Arza rasakan, terlebih saat teriakan kesakitan Inaya terekam jelas oleh telinganya.

"AARGH!" Arza berteriak frustasi, sebelum akhirnya tertawa sumbang, menertawakan dirinya sendiri. Arza bangkit dari posisi tidurnya, menatap dirinya dari pantulan cermin besar.

"Kenapa lo jadi sejahat ini Za?" tanya Arza pada pantulan dirinya di cermin.

°°°°

Lelaki dengan kaca mata memarkirkan motor ducati hitam yang baru saja ia naiki asal, ia tak peduli jika motor itu hilang atau dicuri, lagi pun motor itu bukan miliknya melainkan motor sepupunya, Danafa Arza.

Ya, laki-laki itu adalah Alvian--sepupu Arza. Alvi memasuki kamarnya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, pemandangan pertama yang ia dapat adalah, Arza yang bertelanjang dada dengan rambut yang basah, dan juga kamarnya yang sangat berantakan dengan banyak sampah cemilan. Alvi menghembuskan nafas lelah, Arza baru bertamu di rumahnya selama lima jam dan kamarnya sudah sangat berantakan seperti ini.

Arza menatap tajam Alvi yang masuk begitu saja. "Lain kali ketuk pintu dulu." tegur Arza.

"Ini kamar gue." jawab Alvi malas.

Alvi melemparkan tas dan kunci motor Arza ke sembarang arah. Arza yang memintanya untuk membawakan barang tersebut. Alvi merebut kasar baju yang baru saja Arza keluarkan dari lemari miliknya.

"Siapa yang izinin lo pake baju gue?" ucap Alvi ketus.

"Ck, cuma minjem, pelit amat." ucap Arza kesal, sepupunya ini sangat pelit.

Alvi tak merespon ucapan Arza, ia sibuk mencari baju untuk Arza pakai, hingga akhirnya ia menemukan baju yang ia cari. Alvi melemparkan baju itu tepat diwajah Arza.

Arza melotot kaget saat melihat baju yang Alvi berikan, baju dengan gambar tayo. Oh ayolah, Arza bukan anak kecil lagi. Arza hendak protes tapi suara ketus Alvi membuat ia mengurungkan niat protesnya. Dengan terpaksa Arza memakai baju itu.

Alvi sibuk memunguti sampah bekas cemilan Arza, sedangkan Arza dengan tidak tahu diri merebahkan tubuhnya dikasur milik Alvi.

"Gak tahu diri." cibir Alvi kesal.

Setelah selesai, Alvi ikut merebahkan tubuhnya disamping Arza. Mata serupa rubah itu fokus menatap beberapa gantungan benda langit di atap kamarnya. Keheningan menyelimuti kedua anak adam itu, mereka sama-sama hanyut dalam pikiran masing-masing.

"Gimana menurut lo tentang kejadian di kantin tadi?" ucap Arza memecah hening.

"Keterlaluan." jawab Alvi singkat.

Arza menghembuskan nafas, ia sudah dapat menebak jawaban Alvi, dan benar saja, jawaban yang diberikan sepupunya sangat pas dengan apa yang Arza pikirkan.

"Kenapa lo benci dia?" tanya Alvi.

"Gak ada alasan." jawab Arza asal.

"Bodoh! Satu tahun lo benci dia tanpa alasan? Apa karena dia anak dari orang yang lo kira selingkuhan Ayah lo? Lo ada bukti kalau Ayah lo dan Mamanya Inaya selingkuh?"

"Mereka memutuskan menikah dihari kedua bunda pergi, gue yakin mereka selingkuh. Mereka gak mungkin menikah kalau belum kenal lama." jelas Arza. Ia tidak mungkin memberi tahu Alvi apa yang ia dengar di malam pernikahan Ayahnya.

Alvi terkekeh mendengar jawaban Arza. Lucu, pikirnya.

"Pemikiran lo sama kayak Mama gue." ucap Alvi.

Arza mengerutkan keningnya bingung. "Sama?" tanya Arza.

"Iya, sama. Sama-sama dangkal."

"Siapa yang kamu bilang pemikiran dangkal?" Rizka--ibu Alvi, tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu dengan nampan berisi cemilan dan minuman.

Alvi hanya menunjukkan cengirannya, sedangkan Arza tersenyum menang melihat kehadiran tantenya. Rizka adalah kakak kandung ibu Arza. Sama halnya dengan Arza yang membenci Inaya juga Viana, Rizka pun sama. Ia masih belum mengikhlaskan kepergian sang adik, dan sangat menyayangkan adik iparnya yang menikah lagi secepat itu. Semakin membuat banyak pikiran negatif memenuhi kepala Rizka.

Rizka memasuki kamar dengan mata yang menatap tajam Alvi, anaknya ini sangat kurang ajar!

"Kamu menginap?" tanya Rizka setelah meletakkan nampan itu di nakas.

Arza berpikir sejenak sebelum akhirnya menggeleng. "Engga tan, Arza gak bawa baju sekolah, mau minjem Alvinya pelit." ucap Arza.

Alvi yang mendengar namanya disebut hanya mendengus kesal. Rizka tertawa kecil mendengar jawaban Arza, Alvi memang sangat tidak suka jika ada orang yang menyentuh atau meminjam barang-barangnya. Alvi lebih memilih membelikan baju daripada meminjamkan miliknya.

"Yaudah kalau gitu. Kamu jangan pulang malam-malam, bahaya." ucap Rizka sebelum keluar dari kamar Alvi.

Arza hanya membalas dengan anggukan kepala.

°°°°

11.18 pm.

Arza segera turun dari motor dan melepaskan helmnya. Jam menunjukkan hampir tengah malam, Arza pulang telat karena bermain game dengan Alvi sampai lupa waktu.

Arza memasuki rumah dengan langkah hati-hati. Langkah Arza terhenti di ruang tamu. Di sana, Inaya tengah tertidur di sofa, sepertinya gadis itu menunggu Arza. Ini bukan kali pertama Inaya menunggunya sampai tengah malam.

Arza memilih mengabaikan Inaya, melanjutkan langkahnya menuju kamar. Tapi saat baru menginjak anak tangga pertama, Arza berdecak, berbalik kearah ruang tamu.

Setelah lama berperang dengan pikirannya, akhirnya Arza memilih menggendong Inaya, membawa gadis itu ke kamarnya.

Arza memasuki kamar Inaya. Percayalah, ini adalah pertama kalinya bagi Arza memasuki kamar ini. Kamar dengan cat pink yang dihiasi dengan indah.

Arza membaringkan tubuh Inaya dengan hati-hati agar Inaya tidak terbangun. Arza memandang lamat-lamat wajah damai Inaya, pandangannya teralih pada leher Inaya, ada beberapa bagian yang sedikit melepuh di sana. Arza menghembuskan nafas, sepertinya ia benar-benar sudah keterlaluan.

Arza menarik selimut menutupi tubuh Inaya. Arza berjongkok, mensejajarkan wajahnya dengan wajah Inaya. Entah dorongan darimana, tangan Arza terangkat mengusap lembut surai hitam Inaya.

"Maaf." ucap Arza pelan.

Arza bangkit, kembali menatap wajah damai Inaya yang terlelap. Entah mengapa melihat wajah damai Inaya membuat hatinya menghangat. "Mimpi yang indah." ucap Arza lagi.

Setelah mengatakan itu Arza pergi dari kamar Inaya menuju kamarnya sendiri.

Arza menjatuhkan tubuh lelahnya di ranjang, ia kembali teringat ucapan Alvi tadi sore "Jangan hanya menyimpulkan berdasarkan asumsi lo. Terkadang orang dewasa itu sulit dimengerti, Za."

Arza menghela nafas, ia memilih memejamkan matanya, berusaha untuk tidur. Ia ingin melupakan sejenak apa yang terjadi hari ini.

KAK! | Lee Haechan (Revisi)Complete✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang