PADANG AMRU Grande Samael

636 40 2
                                    

PADANG AMRU Grande Samael

Sejauh mata memandang, yang tampak hanyalah padang nan gersang. Matahari bersinar terik di langit. Burung-burung raksasa pemakan bangkai beterbangan menebar teror dari angkasa. Manusia yang tak terhitung jumlahnya melangkah beriringan menyusuri jalan panjang tak berujung.

Inilah Amru, padang kematian Mahadewa Al-Thair.

Berdasarkan hukum sang dewa, manusia dengan amal kebaikan yang tinggi akan langsung pergi ke surga bersama malaikatputih pengantar arwah. Sebaliknya manusia dengan amal keburukan yang tinggi akan langsung dijebloskan ke neraka jahanam untuk dijadikan bahan bakar abadi. Sementara manusia yang amal kebaikan dan keburukannya terlalu sulit untuk dipertimbangkan, terdampar di “wilayah antara”, salah satunya adalah tempat ini.

Sesuai titah Al-Thair, kami diharuskan berjalan menyebrangi Amru. Selama itu kami akan merasakan panas, lapar, sakit, tapi tak akan pernah mati karenanya. Kecuali, jika jantung kami ditelan oleh makhluk-makhluk buas penghuni padang ini. Namun itu bukan berarti akhir dari penderitaan, karena sesaat setelahnya kami akan dihidupkan kembali di titik awal untuk mengulang perjalanan.

Tapi, maha suci Al-Thair dengan segala tingkahnya. Ia menjanjikan kepada siapa pun yang berhasil menyebrangi Amru kesempatan untuk terlahir kembali ke dunia.

Hanya saja aku tak tahu apa akan pernah berhasil. Entah sudah berapa lama aku melakukan ini. Berjalan, kelaparan, mati, dihidupkan, berjalan lagi, kelaparan lagi, mati lagi, dihidupkan lagi, siklus berulang yang tiap kali membuatku makin pesimis.

Yah, kalau dipikir lagi, apa pula arti hidupku di dunia selain penyesalan. Aku bukan apa-apa, hanya sampah gelandangan. Pengotor pemandangan. Meski mendapat kesempatan kedua, jika memang takdir sudah menentukan, aku tak lebih hanya akan menjadi sampah untuk yang kedua kali.

Kurasa lebih baik di sini, meringkuk dalam keabadian. Tak perlu lagi aku bekerja membanting tulang. Tak ada orang yang perlu kubahagiakan. Terutama, tak usah aku berjuang mati-matian untuk mengangkat derajat diri. Setidaknya di sini aku tak sendiri.

Aku pun bergerak ke tepi lalu duduk memeluk lutut. Kusembunyikan wajah ini, agar buruknya tak terlihat oleh Yang Maha Benar Al-Thair.

“Trohan! Trohan! Selamatkan diri kalian!”

Tiba-tiba aku mendengar sebuah teriakan nyaring. Lekas aku mengangkat lemah kepala ini, untuk menyaksikan ribuan orang yang mulai lari berhamburan ke berbagai arah.

Trohan?

Seketika itu aku mendengar ringkikan melengking. Suaranya menyebar di sepanjang Amru mengisyaratkan kematian. Pelan-pelan aku juga merasakan daratan bergetar.

Aku pun berdiri, membangkitkan tubuhku yang sudah kering seperti korek api. Kulempar pandangan jauh ke ujung jalan sebelah sana.

Astaga.

Maha benar Al-Thair dengan segala tingkahnya.

Saat ini, aku menyaksikan makhluk yang sebelumnya hanya pernah kudengar dari cerita-cerita para utusan, dan kulihat dari mimpi-mimpi terburuk. Di sana, seekor kuda raksasa berkulit hitam tengah menelan manusia-manusia dengan sekali lahap. Urat merah menyembul di seluruh permukaan kulitnya seperti aliran magma. Iris matanya yang berwarna darah itu, akan membuat siapa pun merinding. Siapa lagi yang mampu menjinakkan keganasan makhluk itu, kalau bukan sang mahadewa sendiri?

“Lari! Selamatkan diri kalian!”

Secara refleks aku berbalik. Aku melangkah menuju keselamatan, tetapi kaki lemah ini membuatku terhuyung. Kurasakan langkah-langkah besar di belakang, disertai ringkikan pedih. Lalu semua menjadi gelap. Tubuhku terangkat, kemudian tergelincir menuju sesuatu yang hangat. Untuk selanjutnya tenggelam dalam api neraka.

EVERNA SAGA lintas.masaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang